Selama tinggal di Jakarta dalam 15 tahun terakhir, saya merasakan getaran gempa 6 kali. Timbul pertanyaan, amankah keberadaan gedung tinggi di Jakarta? Seberapa jauh kota Jakarta mengantisipsi dampak kerusakan jika terjadi gempabumi besar? Seberapa besar kesadaran warga Jakarta menggunakan Asuransi Kebakaran dan Gempabumi?
Menurut sumber authentic sejarah yang ditulis Belanda dan Inggris, Jakarta pernah mengalami beberapa kali gempabumi besar yang menimbulkan kerusakan signifikan. Dalam kurun 3 abad terakhir ada 4 gempabumi besar melanda Jakarta pada tahun 1699, 1780, 1852 dan gempa akibat letusan krakatau 27 Agustus 1883.
Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur, Jendral Britania Raya di Hindia Belanda saat Inggris menguasai wilayah ini, tahun 1811 – 1816, mencatat dalam bukunya History of Java, sebagai berikut :
“ Gempabumi tahun 1699 berpusat di selatan Gunung Gede. Gempa ini
memuntahkan lumpur perut bumi. Lumpur pun menutup aliran sungai
sehingga menyebabkan kondisi lingkungan tidak sehat.”
Menurut Encyclopedy of World Geography, gempabumi pada tahun 1699 menyebabkan sungai Ciliwung di Batavia tertutup lumpur, pohon-pohon
bertumbangan sehingga terjadi banjir.
Lalu apa jadinya Jakarta, jika gempa seperti itu berulang lagi saat ini. Banjir Lumpur dan tidak ada lagi banyak pohon bertumbangan tetapi diganti dengan gedung-gedung tinggi roboh. Sebuah mimpi buruk yang mungkin saja terjadi lagi.
OK. Sekarang seberapa siap kota Jakarta menghadapi ancaman gempabumi besar. Saat ini ada peraturan gedung-gedung yang dibangun, harus memenuhi standar tahan gempa hingga 8 Skala Richter. Menurut Hermawan Sarwono, Direktur Utama perusahaan kontraktor umum PT Insani Daya Kreasi, gedung-gedung di Jakarta yang dibangun pasca 1989 sudah harus memenuhi persyaratan struktur gedung dan kinerja struktur gedung sesuai dengan Standar Nasional Indonesia 1989.
“Bahkan, standarisasi pembangunan gedung tahun 2002, ditingkatkan lagi melalui SNI 03-1726-2002 yang jauh lebih ketat dari standar SNI 1989,” kata Hermawan. Menurut Masyhur, ada beberapa tahapan yang perlu dilewati dalam sebuah perencanaan bangunan di Jakarta agar tahan gempa.
Pertama, harus diketahui goyangan atau percepatan di batuan dasar. Angka ini bisa diperoleh dari Peta Gempa Indonesia 2010, di mana percepatan di batuan dasar (Peak Base Acceleration/ PBA) Jakarta adalah 0.19 g (g = gravitasi bumi = 981 cm per detik kuadrat) untuk 10 persen kemungkinan terjadinya dalam 50 tahun dan untuk periode ulang gempabumi 475 tahunan.
Artinya ada siklus periode ulang gempabumi besar. Jika dikaitkan dengan sejarah gempa besar dalam 3 abad terakhir, ada selang 81 tahun, 72 tahun, 31 tahun dan 128 terakhir tidak terjadi gempa besar. Maka selama itulah terjadi akumulasi energi di perut bumi dan variable lainnya yang akan memperbesar potensi gempa yang akan datang. Maka peraturan tentang standardisasi bangunan tahan gempa harus diterapkan secara sangat ketat.
Setelah itu, perlu diketahui pula percepatan di permukaan tanah dengan menghitung efek kondisi tanah setempat, misalnya apakah tanah lunak atau tanah keras. Untuk Jakarta, goyangan di batuan dasarnya bisa saja sama, namun goyangan di permukaan tanah Jakarta Utara dan Jakarta Selatan berbeda, karena perbedaan tanahnya.
Yang terakhir, perlu diperhitungkan goyangan di bangunannya sendiri, yang didasarkan pada perilaku bangunan tersebut. "Dengan mengetahui goyangan pada bangunan, maka dapat dihitung besarnya gaya gempa pada bangunan,” kata Masyhur.
Padahal, hingga kini Jakarta belum memiliki peta mikrozonasi gempa, yang bisa secara lengkap menyediakan informasi peta kelabilan tanah, termasuk angka percepatan/ goyangan di permukaan tanah di masing wilayah Jakarta. “Sayangnya di Jakarta kita tidak punya,” kata Masyhur.