"Tapi satu hal yang harus aku ceritakan, orang-orang Pakistan dan Afghan adalah orang-orang sangat menakjubkan,” katanya mengenang.
“Banyak, religiusitas mereka. Antara lain komitmen mereka terhadap agama. Tapi saya rasa yang paling menakjubkan adalah kekuatan mereka, dan bertahan lama di alam dalam kehidupan sehari-hari,”
"Aku heran bagaimana orang-orang ini begitu kuat dan tampak bahagia meski kehidupan yang sangat menantang.”
"Saya ingin memberitahu Anda bahwa pikiran saya terus-menerus mengingat orang2 itu. Memori saya mengingatkan tentang bagaimana mereka bahagia, sementara kita, di Amerika hidup dalam keadaan mewah, tapi penuh kekurang kebahagiaan,” ujarnya bernada marah.
Tiba-tiba ia meneteskan airmata di tengah dialog, tapi sambil melempar senyum berujar : “I am sorry, saya sangat emosional dengan kisah ini,”
Begitulah yang diceritakan Imam Masjid New York dalam rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com (Dialog lengkap ada pada PART 2).
Hakikat Kebahagian Sejati
Islam mengajarkan konsep kebahagiaan sejati adalah apabila hatinya dipenuhi kecintaan yang kental kepada ALLAH SWT dan RASULULLAH SAW. Jika puncak kebahagiaan ini diraih, maka hatinya tidak lagi berpaling kepada yang lain. Sepanjang hidupnya hanya ingin bertemu kepada yang dicintainya ini kelak di akhirat – kehidupan sesudah datangnya kematian. YA … kebahagiaan sejati ada di akhirat.
Tidak peduli bagaimana Anda menjalani hidup Anda di dunia ini, itu adalah sementara dan tidak memuaskan. Harus ada tempat di mana kita akan hidup kekal, di mana semua mimpi dan harapan akan terpenuhi. Keyakinan ini memberi kita kekuatan besar dan tekad untuk menjalani hidup sepenuhnya, tidak peduli seberapa buruk situasi yang melingkupi kehidupan itu sendiri. Itulah kebahagiaan yang dilandasi kebenaran IMAN.
Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim as, Ibrahim berkata : "Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?" Allah pun seketika menjawab, "Pernahkah engkau melihat seorang sahabat yang tidak suka untuk melihat sahabatnya?" Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"
Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepada-Mu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan." Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya."
Imam Ghozali dalam kitab Kimiyatus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) menyatakan : “Ketahuilah manusia dijadikan tidak untuk "sia-sia" saja.
Tetapi dijadikan untuk tujuan besar dan mulia. Meskipun manusia tidak Qadim (kekal dan azali lagi), namun ia kelak hidup kekal selama-lamanya (di surga atau neraka).”
“Meski badannya kecil dan berasal dari bumi, namun Ruh atau Nyawa adalah tinggi dan berasal dari sesuatu yang bersifat Ketuhanan. Apabila hawa nafsunya dibersihkan sebersih-bersihnya, maka ia akan mencapai taraf paling tinggi dan tidak lagi menjadi hamba kepada hawa nafsu rendah. Ia akan mempunyai sifat-sifat seperti Malaikat.”
“Dalam peringkat yang tinggi ini, didapatinya surganya adalah dalam bertafakur mengenang Allah Yang Maha Indah dan Kekal Abadi. Ia tidak lagi tunduk kepada kehendak-kehendak kebendaan dan nafsu semata-mata. Al-Kimiya Keruhanian yang membuat pertukaran ini.”
Tinjauan Sekilas Kitab Kimiyatus Sa’adah
Kimia Kebahagian ini ringkasnya berpaling dari dunia dan menghadap kepada ALLAH Subhaanahu wa Taala. Bahan-bahan Kimia ini adalah empat : 1. Mengenal Diri 2. Mengenal Allah
3. Mengenal Dunia ini Sebenarnya (Hakikat Dunia)
4. Mengenal Akhirat sebenarnya (Hakikat Akhirat)
Allah SWT telah menurunkan ke bumi 124,000 nabi untuk mengajar manusia tentang bahan-bahan Al-Kimia ini. Bagaimana hendak menyucikan hati mereka dari sifat-sifat rendah dan keji itu. Dan ajarannya pun diwariskan kepada Ulama-ulama yang wara’ atau wali-wali kekasih Allah.
Tujuan atau puncak dari Kimia Kebahagiaan ini adalah mencapai Maqam Mahabbah; puncak tertinggi kebahagiaan yang ingin dimiliki oleh orang-orang yang Mengenal Allah. Singkatnya mencintai Allah dengan sebenar-benarnya, bukan karena sebagai kewajiban.
Cinta itu sendiri apa? Cinta adalah kecenderungan pada sesuatu yang menyenangkan, sebagaimana panca indera, kesenangan telinga kepada alunan musik, kesenangan lidah pada rasa enak yang semuanya juga dimiliki oleh hewan. Namun pada manusia ada indera keenam yang tidak ada pada makhluk lainnya, yaitu Persepsi yang ada di hati. Dengan Persepsi ini kita menyadari suatu keindahan dan keunggulan ROHANI.
Maksudnya orang yang hanya akrab dengan kesenangan dunia (inderawi) tidak akan bisa memahami maksud Nabi SAW, saat bersabda bahwa ia mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meski keduanya juga menyenangkan baginya. Orang yang mata-hati(persepsi)nya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.
Manusia yang hanya mengakrabi kesenangan inderawi (dunia) berkata : “keindahan seseorang ada pada kulit putih, tubuh serasi dan seterusnya.” Sebaliknya ia buta terhadap keindahan sifat-sifat yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik.
Adapun orang yang memiliki persepsi lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang mulia yang telah jauh mendahului kita - seperti para nabi dan orang saleh - berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meski sudah meninggal ribuan tahun. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah.
Saat kita ingin membangkitkan rasa cinta di hati seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan tubuhnya atau harta yang dimiliki, melainkan diuraikan kunggulan ruhaniah dan sifat mulianya.
Sebab-Sebab Yang Dapat Membangkitkan Kecintaan
Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri.
Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah, karena keberadaan dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya, manusia tidak akan pernah tampil ke dunia secara kasat mata. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah.
Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak berterimakasih kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali.
Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Karenanya ia pasti mencintai Allah kalau saja bukan karena sikap masa-bodohnya terhadap Allah. Orang bodoh juga tidak bisa mencintai-Nya, karena cinta kepada Allah memancar langsung dari pengetahuan tentang Allah. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan ?
Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah.
Kebaikan apapun yang diterima dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apapun yang menggerakkan orang memberi kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan memperoleh
pahala / nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.
Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh.
Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih.
Allah berfirman kepada Nabi Daud, "AbdiKu yang paling cinta kepadaKu adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah ?"
Sebab KEEMPAT dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah.
Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw :
"Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Lebih jauh lagi Allah telah berfirman :
"Hamba-Ku mendekat kepada-Ku sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya."
Juga Allah berfirman kepada Musa as. :
"Aku pernah sakit tetapi engkau tidak menjengukku ! "
Musa as menjawab : "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?"
Allah berfirman : "Salah seorang hamba-Ku sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungi-Ku."
Membahas “kemiripan” dalam memahami hadits ini adalah masalah yang sangat krusial dan membahayakan aqidah yang lurus. Terutama berbahaya bagi muslim yang awam atau dangkal aqidahnya. Sebab orang yang cerdas dan juga paham ilmu agama bisa saja tersandung dalam membicarakan soal ini sehingga berpaham sesat karena percaya pada Inkarnasi dan Wihdatul Wujud (persekutuan dengan Allah).
Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang diisyaratkan di dalam sabda Nabi :
"Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dilanjutkan ke PART 2
< billaahit taufiq wal hidayah >