YOGYAKARTA – Aku kembali! Dimanakah sahabat-sahabat masa kecilku?
Pertanyaan itu menggayut, setiap turun dari KA Jakarta-Yogyakarta. Inilah kotaku, Emak melahirkan aku, 16 Desember, di RS Bethesda Jln Jenderal Sudirman, ketika rumah kami di pinggir Jalan Urip Sumoharjo (d/h Jl. Solo) hanya 500m sebelah timur RS dekat Bioskop RAHAYU Purbonegaran. Tetangga menyebut rumah itu “Omahe Eddy Empi anak’e Syukri Wong Palembang" hingga kami pindah ke Sapen (selatan IAIN) pada tahun 1973.
Tahun 1974-1976 pindah ke Kepuh dan terakhir ke Demangan – kini rumah kami hanya ditempati Emak-Bapak. Begitulah, sejarah urbant keluargaku berkutat di kecamatan Gondokusuman. Ibu berasal dari wilayah paling selatan pesisir Jawa (dekat pantai Samas, Bantul, DIY). Ayah berasal dari dusun kecil pinggir hutan lebat alur sungai Musi – Sekayu, SUMSEL. Kami adalah keluarga urbant di Yogyakarta.
Kilo Meter NOL
Menuju Jalan Malioboro, belok kiri – dan – Lihat! Becak melintasi :
Gedung Bank Indonesia cabang Yogyakarta, Jalan Panembahan Senopati (samping Benteng Vree de Burg). Di sampingnya Kantor POS Besar.
Yogyakarta KM 0 on July 1, 2011
Emang Asyik Jadi Anak Kampung!
Saya dibesarkan dalam atmosfer Yogjakarta era 70-an dan awal 80-an yang khas Njawani. Dahulunya kupunya kegemaran Sekaten, menonton wayang kulit, wayang wong (ketoprak Mataram), “celelekane” Basiyo di RRI, pengamen keliling Mas Sujud, Malioboro Fair atau Jalan Solo Fair, TVRI stasiun Yogya dan bermain di alam bebas.
Kegiatan bermain bersama, misal : Bak sodor, sundah mandah, pethak umpet, main perang-perangan dengan pedang kayu (dari batang petai china) melawan anak kampung tetangga (bukan dalam konteks tawuran untuk sengaja saling menyakiti! Tapi perang-perangan sebagai ekspresi kegembiraan – jika bagian tubuh tertentu tersentuh pedang dianggap kalah) atau tembak-tembakan dengan senapan dari papan kayu blabag yang digergaji atau glagah tebu dibeli di Pasar Lempuyangan. Peluru yang melesat juga dari batang glagah. Jika kena dia dianggap kalah.
Tampaknya aku tumbuh ‘Dhadhi wong Yogjo’ seiring metamorfosis ayahku, perantau Sumatera yang kuliah di Fakultas FIPA UGM, dari wujud wong Palembang pelan tapi pasti menjadi wong Yogjo, tidak mau pindah dari kota ini karena cinta. Sebaliknya aku terobsesi balik ke kampung halaman ayah. Selepas lulus dari Fakultas Ekonomi UGM saya 5 tahun mukim di Palembang sebelum akhirnya hidup di Jakarta.
Saat itu Jalan Solo hingga Jalan Sudirman, dari IAIN hingga jembatan Gondolayu berjejer pohon Asam Jawa usia puluhan tahun. Berjarak 400 meter arah timur rumahku tumbuh pohon Randu Alas raksasa, diameter 2 meter lebih. Sebelah timur Langensari berdiri kokoh beringin besar, pepohonan kenari yang meninggi di sisi jalan Bengkel KA Pengok. Yogyakarta saat itu dirindangi oleh pepohonan tepi jalan.
Lokasi Randu Alas (ditebang tahun 1977) di seberang BANK BCA Jl. Urip Sumoharjo (sekarang) hanya berjarak 30 meter dari Jalan raya. Batangnya jauh lebih besar dan kokoh dibanding RANDU ALAS depan rumah pelukis surealis AFANDI, jembatan GADJAH WONG. Saat sore, hadir suara harmoni alam dari burung, kelawar dan bangau. Seakan tidak terusik, karena kendaraan bermotor belum banyak namun lebih banyak becak, sepeda, motor DKW, andong dan sedikit motor Honda 70 cc.
Setiap pagi jalan depan rumah dilewati Andong (kereta kuda) dan gerobak sapi membawa hasil pertanian dari desa-desa di Sleman dan Prambanan ke kota Jogya. Semua jalan masih 2 arah tanpa Traffic Light. Aku sering menumpang Gerobak Sapi, naik dari Bioskop RAHAYU turun di (Hotel) Ambarukmo, kecepatannya lebih pelan dari sepeda tapi sangat sensasional sebab berjalan sembari bergoyang. pulangnya berjalan kaki sekitar 4 KM bersama kawan sepermainan.
Njajah Kali Melan Kori
Sepulang sekolah di SDN Klitren Lor - Balapan (belakang DUTA Photo) sering aku menyusur sungai mencari ikan dengan alat penyaring dari anyaman bambu. Mencari ikan di kali (sungai kecil) mulai dari Langensari (Pengok), di bawah jembatan Jalan Solo (dulu disebut sebagai “buk” dan kini diatasnya menjadi toko besar Gardena), hingga ke mata-airnya di Kupel, kampung Kuningan sebelah timur Fakultas Hukum UGM (disebut juga lembah) yang masih banyak sawah dan Bong (makam Cina).
Sungai menjadi tempat favorit; tempat cari ikan Wader, Kuthuk, Cethul, Pala Timah dan Lele atau sekali waktu mendapat belut sawah. Cari udang di sungai jernih di sela batu dan pasir, hampir tidak ada sampah plastik. Aktivitas paling favorit berburu udang sungai ukuran besar kehitam-hitaman, karena begitu dapat langsung dijemur sampai merah - siap santap dan Wuih gurih!!! Lemak nian!! uji wong Palembang. Dijemur di atas batu atau di atas besi rel KA.
Setiap pagi dan sore tepian sungai Gadjah Wong ramai, orang pun datang untuk mandi di sungai atau mata-air kecil yang banyak (di area persawahan sebelah timur kampus IAIN saja saat itu ada 10 mata-air kecil yang disebut "Mbelik").
Pemukiman Penduduk di daerah BANTUL - Yogyakarta
Aku sangatlah puas menjelajah sungai Gajah Wong dan kali Kucing di atasnya. Penjelajahan alur sungai Gadjah Wong dimulai dari sebelah timur kampus Sanata Dharma (kp. Mrican – Papringan – Sapen - Sorowajan hingga di kaki Jembatan KB. Gembira Loka). Alam sepanjang alur Gadjah Wong masih alami dengan sawah nan luas dan kebun karet di sebelah timur Timoho.
Hiburan TV tahun 1970-an Awal (tahun 1970 - 1975)
Untuk hiburan TV perlu perjuangan berat sebab TV langka, listrik pun langka karena hampir seluruh kampung Sapen tidak ada stroom listrik dari PLN – semua gang/jalan atau rumah hanya diterangi lampu minyak tanah sentir, teplok atau petromak. Satu-satunya tempat di SAPEN untuk menonton TV hanya ada di perumahan dosen IAIN. Nonton pun rame-rame dari balik jendela jeruji besi. Siaran TV dimulai pukul 17.00-24.00 . Namun aku tidak pernah menonton sampai larut malam, sebab setelah jam 7 malam gordyn (kain tirai) jendela ditutup.
Jika masih mau, terpaksa berjalan kaki 1,5 km rame-rame (sebab tidak punya sepeda) ke Bengkel KA Pengok atau pergi ke sebelah barat tokobuku GRAMEDIA sekarang. TV ditempatkan dalam sangkar kotak setinggi 3,5 meter. Bayangkan bak menonton layar tancap keliling.
Layar Tancap keliling masa 70-an satu-satunya penyelenggara adalah Deppen RI (Departemen Penerangan) di lapangan terbuka dengan film perang kemerdekaan, dokumentasi pembangunan hingga tayangan kampanye Keluarga Berencana (KB). Pada momen tahunan Sekatenan di Alun-alun Lor, Layar Tancap ini juga menjadi tontonan favorit dan gratis.
Hingga kini teringat serial film sore: SINTARO, Lancer, Bonanza, Rodex, Batman and Robin, serial Ivanho + Robinhood and Richard King the Lion Hearth, Daniel Bond, Rin Tin Tin, Popeye The Sailor dan Woody Pecker Show etc.
Klip video serial film Hawaian Fife O klik saja --> Hawaian Fife O
Keluarga Cowboy dalam serial “Bonanza”
Sebelum “Dunia Dalam Berita” pukul 10 malam ditayangkan Hawaian Five O, The Champion, Star Trek, Baretta, Jeanny (jin kocak dan juga cantik istri Mayor AU Nelson “Barbara Eden” yang tinggal dalam botol), PRIMUS – Penyelam laut Dalam, Twelve O Clock (kisah pilot AS dalam PD II), Telly Savalas dan The Saint - Roger Moore. Dari semua itu yang menjadi favorit adalah Film Cerita Akhir Pekan, film lepas pilihan selama 2 jam penuh tanpa iklan dengan thema perang Dunia 2, spionase, detektif atau drama.
Menonton “Gambar Hidup” di Bioskop terdekat – RAHAYU terasa mahal. Uang jajan Seringgit (Rp 2,50) atau Segelo (Rp1) mana cukup beli tiket? Kalaupun tiket terbeli, tetap saja ditolak masuk, karena kategori film 17 Tahun ke atas. Akhirnya hanya bisa mlototin poster film atau sekali-kali menyelinap tidak bayar atau sembunyi di balik pintu setengah terbuka, mengintip lewat celah engsel pintu, sementara porter menyobek karcis, hingga saat pintu tersebut ditutup sepenuhnya. Dah!!! Puas tuntas dah!!!.
The Old-Fashioned Marketing from 1960s - 70s
Anda tahu bagaimana film baru dipromosikan? Sekitar jam 2 siang mobil iklan film melintasi depan rumah. Mobil yang dipasangi poster film dari kain kanvas berjalan pelan sambil menyebarkan selebaran kertas stensilan promosi film keliling kota. Sementara tidak hentinya staf pemasar berteriak-teriak melalui megaphone besar mempromosikan judul film baru.
Idiom sering dipakai seperti “Film action terhebat”, “Bruce Lee Otot Kawat Balung Wesi”, “dengan bintang tenar Charles Bronson, John Wayne, Jim Brown, Charlton Heston …” Promosi sukses! Film diputar pkl 10.00, 14.00 (Matine Show), 17.00 (Evening) & 21.00 sering terlihat antrian panjang. Apalagi tayangan Sabtu malam pukul 24.00 (Midnight Show).
Photo Yogyakarta di masa lalu
My father was a settled foreigner from South Sumatera who studied at the Faculty of FIPA UGM and my mother is a native resident. He so love Yogyakarta and never move from the city. My parents are dwelling in kampung Demangan Yogyakarta. Instead I have lived in my father's hometown, Palembang, for 5 years before living in Jakarta until now.
My first school was at primary school SDN Balapan (in the south of DUTA PHOTO, now a campus of STIE YKPN), proceeded to SMP Negeri V Kota Baru and then continue to SMAN I Teladan Yogyakarta. Finally I passed graduate of Economic Faculty of Gadjahmada University.
Kampusku pada 50-an tahun lalu. Ini gedung pusat UGM (gedung Induk), entah diambilnya foto ini pada tahun berapa. Latar belakangnya tampak gunung Merapi terlihat sangat jelas dan berdiri kokoh belum ada pepohonan perindang di selatan gedung. Ruang-ruang kuliah saya di Fakultas Ekonomi sepanjang tahun 1984 – 1988 ada di lantai 2 dan 3 pada sayap utara dan selatan Gedung Induk.
My High School SMA Negeri I Teladan Yogyakarta
Foto suasana Jalan Jendral Sudirman, di sisi Barat Jembatan Gondolayu. Kini masuk wilayah kelurahan Cokrodiningratan, kecamatan Jetis. Di kejauhan tampak tegak icon Yogyakarta (Tugu) dan di Abdi Dalem Kraton naik Sepeda. Di dekatnya sekarang telah dibangun HOTEL SANTIKA PREMIERE.
Kreteg Kewek berasal dari nama Belanda Kerk & Werg, berarti “jalan menuju gereja” (gereja KOTABARU) dari sudut pandang Hotel Garuda. Tampak percabangan rel KA dan pemukiman asri Kota Baru dan Seminari Katolik. samar-samar terbaca : Lucht Foto KNIL.
"TUGU YOGYAKARTA" – Samar-samar di kejauhan terbaca TOKO SEN di jalan Mangkubumi menuju Malioboro. Tahun 1992 saya membubut block mesin (kotter) sepedamotor GL 100. Masih adakah tokonya? Di bawah pohon besar (kanan) tampak Depot Es arah menuju pasar Kranggan.
Jalan Pangeran Mangkub
Jalan Pangeran Mangkubumi pada tahun 1948. Dikenali dari bentuk trotoar dan pada tahun 1970-an saya melihatnya masih seperti itu. Di sisi timur tidak ada toko kecuali di ujung utara dekat icon kota Yogyakarta (Tugu). Di sisi kiri jalan, dari kejauhan tampak plang warna putih dengan letter “Kedaulatan Rakyat.” Sekarang ini trotoar di sisi kanan menjadi jalur lambat.
Malioboro atau Jalan Ahmad Yani dimasa lalu.
KANTOR POS BESAR (sebelah kanan) dan BANK INDONESIA di KM NOL. Melihat Kantor Pos Besar tahun 1955, orang segera mengingat bahwa Yogyakarta di masa silam telah ada bangunan bagus, namun tidak sedikit yang telah lenyap.
Photo diambil dari arah Gedung Agung (Istana Kepresidenan). Di seberang Gedung BI merupakan halaman Benteng Vreedeburg. Saya masih ingat tahun 1972 jalan ke arah kiri dihiasi pepohonan yang lebat yang jika sore hari langit ditingkahi hiruk pikuk suara bangau, walet dan kelalawar. Tahun1975 dibangun Monumen Yogya Kembali persis di seberang Kantor Pos Besar. Lihat Mobil dan becak melaju ke arah kiri sementara saat ini pasti dilarang karena one way traffic.
Sultan HB IX Menyumbang NKRI 6.000.000 Gulden
Dan Sejarah Akan Terus Mencatat di tahun1950 :
"Yogyakarta sudah tidak punya apa-apa lagi. Silakan lanjutkan pemerintahan ini di Jakarta," sambil mengeluarkan cek senilai 6 juta gulden untuk modal awal menjalankan roda pemerintahan NKRI. Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengatakan itu dengan berurai air mata di hadapan Ir Soekarno menteri-menterinya.
Para menteri kabinet Soekarno ikut menangis.
--------------------------------------------------------------
Dan pemerintahan saat ini (period 2009-2014) hendak menghilangkan keistimewaan Yogyakarta dan gagal mengatasi korupsi berjamaah secara besar-besaran sehingga menyengsarakan rakyat !!!!! ..... Meski akhirnya gagal karena DPR tidak meloloskan RUU tersebut. Apakah demokrasi ala Amerika akan menjadikan NKRI tidak tahu balas budi atau memang mau melupakan sejarah ini?
Masjid Agung Yogyakarta tahun 1900.
Pengrajin Yogyakarta pada tahun 1900-an awal
KLA Project - Yogyakarta
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali)
Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…
0 komentar dan respon:
Posting Komentar