Saya mencemaskan anakku yang lahir setelah hampir 8 tahun pernikahan. tersemat di Akta Kelahiran Najwa Dzikrina Istighfarah Tanjung binti Zulkarnain, usia 6 tahun disusul Abdillah Zulkarnain Tanjung, 3.5 tahun. Kakak beradik ini menjadi lubuk curahan hati. Najwa sekolah di Elementary School grade 1.
Saya termangu membandingkan sekolah SD tahun 1970-an dengan kondisi belasan tahun terakhir. Dimasa itu teman satu kelas dan juga tetangga belakang rumahku hanyalah anak buruh cuci, namun dengan sistem pendidikan saat itu memungkinkan dia meraih master sains dan status sosial terhormat.
Banyak anak buruh tani miskin di pedesaan Jawa namun anaknya mampu kuliah di universitas Negeri. Demikian juga dengan seorang kawan kuliah saya seangkatan di Fakultas Ekonomi UGM pada pertengahan tahun 1980-an adalah anak petani miskin di Bantul Yogyakarta namun dia mampu membiayai kuliah dari mengayuh becak. Maka tercipta peluang terjadi Mobilitas Sosial Vertikal, melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan.
Tapi apa yang terjadi sekarang?
Alamaak! Biaya masuk Pre-School berkisar ratusan ribu hingga jutaan rupiah dan SPP bulanan pada kisaran puluhan ribu hingga ratusan ribu. Kampus Almamater-ku yang dijuluki Kampus Rakyat pun melambungkan biaya kuliahnya. Sehingga bisa jadi anak yang ayah-ibunya lulusan sarjana dari Universitas Gadjah Mada, tapi karena hidupnya kurang beruntung tidak lagi mampu membiayai kuliah anak.
Apa nak jadi!!! Sekolah sarat biaya dan masuk pusaran Kapitalisme-Pendidikan yang awalnya implikasi policy negara yang tunduk pada intervensi Asing melalui para menir IMF dan World Bank dengan advise KURANGI SUBSIDI di semua lini sehingga negara tidak berdaya lagi memberdayakan rakyat. IMF sudah tahu ini resep untuk memperlemah RI.
28 April 2011 Menteri Keuangan Agus Martowardoyo menyatakan rencana pemerintah menghapus subsidi BBM dengan meniadakan premium. "Hapus artinya tidak diteruskan. Pertamakali subsidinya kemudian produknya, kan oktannya juga kurang tinggi" tegasnya. Bencana bisa dibayangkan karena kenaikan harga BBM adalah hulu dari semua inflasi.
Tanpa subsidi akan terjadi proses pemiskinan struktural - orang tetap melarat karena dia miskin dan tidak ada akses modal pinjaman - tidak ada lagi BUUD (Badan Usaha Unit Desa), KUT (Kredit Usaha Tani) dan Koperasi Unit Desa untuk mengentaskan petani miskin. Akses pendidikan semakin tertutup bagi rakyat miskin sebab subsidi tidak lagi mencukupi.
Yang tertinggal hanya romantisme masa lalu. Dimana sebelum pukul 07.00 anak-anak miskin tanpa alas kaki, celana pendek dan baju beragam (belum ada wajib seragam) anthusias berangkat sekolah membawa buku paket yang boleh dibawa pulang. Mereka lantang menceritakan cita-cita di depan kelas dan berani bermimpi tentang masa depannya.
Catatan : Murid SD tahun 1970-an diperbolehkan tanpa alas kaki terutama di desa, saya sendiri meskipun tinggal di kota Yogyakarta mulai bersepatu di bangku kelas 5 atau naik ke kelas 6.
Metode Pendidikan Jiwa
Sebenarnya bukan biaya yang saya cemaskan tapi sistem pendidikan yang TERLALU Intelektualistis yang menjadi mimpi buruk dan mulai dirasakan di tingkat Dasar hingga tingkat Diploma dan Sarjana. Kurikulum pendidikan terlalu Job-Oriented. Motif kuliah pun paling dominan dipastikan untuk menjadi orang kaya dengan status sosial baik.
Tujuan mengubah nasib melalui pendidikan memang tidak salah tetapi hampir tidak ada orang menuntut ilmu (bersekolah) karena kecintaan pada ilmu itu sendiri, apalagi pada sistem pendidikan kapitalistik.
Kondisi sebaliknya terjadi di lembaga pendidikan Islam yang dicap Terlalu Transedental atau Terlalu Spiritualistis disertai penyimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin mendalam materi ajaran Islam maka akan semakin sukar dipahami pikiran atau bahkan dianggap diluar pengertian dan pengalaman manusia biasa. Ujungnya dipandang tidak rasional dan tidak memiliki link dengan dengan kehidupan modern.
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi - tidak ada pemisahan urusan dunia dan masalah spiritual. Pengajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Tidak melulu intelektualistik yang menghasilkan kepribadian Rasional, Pragmatis dan serba praktis dan tidak pula melulu spiritualistik yang terlalu asyik dengan ritual ibadah.
Islam memiliki pengajaran unik, konsep pendidikan menekankan ILMU dan ILMU dalam Islam berdimensi IMAN dan AMAL. Itu sebabnya Konsep Pendidikan Islam sangat menuntut pemahaman 2 hal :
(1) Bagaimanakah kedudukan IMAN, ILMU dan AMAL dalam jiwa (2) Bagaimanakah cara menanamkan itu semua ke dalam jiwa.
-------------------------------------------------------
Saya kesulitan menemukan tempat pendidikan dengan visi seperti itu di sekitar kediaman saya. Ada SD Islam Terpadu tapi terlalu mahal dan ikut pusaran intelektualistik dan sering iklan SDIT mencantumkan Iman-Ilmu-Amal atau membentuk generasi Rabbani. Faktanya jauh dari harapan.
Pilihan pesantren harus cermat apalagi pesantren baru tumbuh menjamur, dengan label Pesantren Modern dan seterusnya. Salah pilih anak kita akan menganut ajaran Islam sesat. Saya sangat menghindari pesantren yang berafiliasi NII seperti Az-Zaituun dan semacamnya. Saya antipati dengan pesantrennya kaum Salafi-Wahabi yang suka mengkafirkan muslim lain termasuk ayahnya sendiri atau mulutnya selalu basah menyebut ini dan itu Bid'ah, Lemkari, LDII dan lebih lagi Ahmadiyah.
Kemudian perlu mencermati siapa pemangku pesantren. Apakah adab atau etika santri dan ustadznya menjadikan kitab Ta'lim Muta'allim sebagai rujukan bagi penuntut ilmu Islam dan pengajarnya.
Nampaknya dibutuhkan pengorbanan IKHLAS dari berbagai kalangan yang berkepentingan dengan masa depan Kejayaan Islam. Bekerja bersama dan 'berijtihad' terus-menerus mencari sistem pendidikan yang paling cocok dan terintegrasi untuk PENGEMBANGAN JIWA ANAK DALAM SEMUA ASPEK KEJIWAAN.
Budaya IKHLAS mencintai ilmu dan memuliakan guru, yang juga lkhlas mentransfer ilmu, sementara ini hanya tersisa di pesantren salaf (Ingat bukan Salafi!) yang justru semakin ditinggalkan, dayeuh dan sebagian pesantren Modern, sisanya wallaahu a'lam.
Perlu diketahui, bagi santri pemula harus mengaji dan mengamalkan kitab
'Ta'liimu muta'allim' yang berisi adab (etika) Penuntut ilmu terhadap ilmu itu sendiri, terhadap guru, larangan dan anjuran bagi penuntut ilmu dan hal -hal lain yang relevan.
Kesimpulan
Semua pelaku dunia pendidikan Islam harus memahami benar bahwa jiwa manusia (nafs) adalah OBYEK pengajaran dalam sistem Pendidikan yang akan diterapkan. Pemahaman terhadap Konsep Jiwa Manusia Dalam Pandangan Islam ini sangat-sangatlah dibutuhkan sebelum bicara tentang metode atau sistem pendidikan, sebab jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Penekanannya adalah bagaimana ilmu itu berproses sehingga ilmunya melahirkan iman bukan bagaimana ilmu didapat (intelektualistik). Jika pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah manusia maka akan lahir manusia-manusia tinggi ilmu dan iman sekaligus banyak amalnya.
-----------------------------------
0 komentar dan respon:
Posting Komentar