Jakarta, 2010-10-25
Saya sangat mencemaskan anak. Anak lahir menginjak tahun ke-8 nikah. Tersemat di Akta Lahir Najwa Dzikrina Istighfarah binti Zulkarnain (5) disusul Abdillah Tanjung (3). Dua insan beradik-kakak ini bak lubuk curahan hati ayah-bundanya. Najwa sekolah Pre-School. Inilah sumber keresahanku sebab tahun depan ke Elementary School. Setelah mencari tahu. Alamak! Sekolah-sekolah bagus yang ditawarkan berbiaya mahal. SD Negeri bebas SPP dan biaya masuk tetapi banyak sekali pungutan.
Pendidikan Bersubsidi Penuh
Saya termangu membandingkan sekolah SD Negeri tahun 1970-an dengan kondisi belasan tahun terakhir. Teman sepermainanku, anak tukang cuci, dengan sistem pendidikan saat itu memungkinkan dia meraih Master dan status sosial terhormat. Banyak anak buruh petani miskin di pedesaan Jawa namun anaknya mampu kuliah di universitas Negeri. Temanku kuliah seangkatan di Fakultas Ekonomi UGM adalah anak petani miskin di Bantul Yogyakarta namun mampu membiayai kuliah dari kerja mengayuh becak.
Maka terjadi peluang besar Mobilitas Sosial Vertikal dari Masyarakat Kelas Bawah ke Masyarakat Menengah - Atas.
Satu-satunya biaya riil yang dibebankan ke siswa adalah SPP. Biaya SPP selama saya bersekolah di sekolah Negeri : SD Rp.100,- per bulan, SPP SMP Rp.400,- per bulan, SMA SPP Rp.900.- dan Sumbangan BP Rp.350,- per bulan dan biaya kuliah di FE UGM hingga lulus Rp 40.500,-/semester dan sama sekali tanpa pungutan. Registrasi Rp77.000 (include SPP thn. I dan jaket almamater) – SEMUA DITANGGUNG NEGARA.
Apa nak jadi, sekolah di Indonesia kini sarat biaya setelah masuk pusaran
'Kapitalisme-Pendidikan' implikasi kebijakan negara yang tunduk mengikuti intervensi tekanan kekuatan Asing DULU melalui menir IMF - Bank Dunia. Advise-nya KURANGI SUBSIDI di semua lini sehingga negara tidak berdaya memberdayakan rakyat. Terjadilah proses pemiskinan struktural - orang melarat karena dia miskin dan tidak ada akses modal - tidak ada lagi BUUD (Badan Usaha Unit Desa) dan KUD (Kredit Usaha Tani). Dunia pendidikan semakin tertutup aksesnya karena subsidi tidak lagi mencukupi.
Yang tinggal hanya indahnya romantism masa lalu. Sebelum pukul 07.00 pagi anak-anak miskin tanpa alas kaki, celana pendek dan baju beragam (belum ada wajib seragam) penuh semangat berangkat sekolah dengan buku paket yang setahun penuh boleh dibawa pulang. Mereka lantang menceritakan cita-cita setinggi-tingginya di kelas dan berani bermimpi.
Murid SD tahun 1970-an bebas tidak beralas kaki terutama di pedesaan, saya sendiri meskipun tinggal di kota Yogyakarta baru mulai bersepatu ketika naik ke kelas 6.
Jiwa Manusia adalah OBYEK Pengajaran
Sungguh bukan biaya pendidikan yang menakutkan, tapi sistem pendidikan TERLALU 'Intelektualistis' yang menjadi mimpi buruk saya. Ini dirasakan di level Dasar hingga Menengah-Atas. Di tingkat Diploma dan Sarjana tidak jauh beda dengan tambahan kurikulum yang terlalu Job-Oriented. Motif kuliah paling dominan menjadi orang kaya dan impian kemewahan.
Tujuan mengubah nasib melalui jalur pendidikan tidak salah, namun hampir tidak ada orang menuntut ilmu (bersekolah) karena kecintaan kepada ilmu itu sendiri, apalagi pada sistem pendidikan kapitalistik.
Kondisi sebaliknya terjadi di institusi pendidikan Islam yang di-cap 'Terlalu Transedental' atau 'Terlalu Spiritualistis'. Ditambah anggapan:
“Semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin mendalam materi ajaran Islam maka akan semakin sukar dipahami pikiran atau bahkan dianggap diluar pengertian dan pengalaman manusia biasa. Ujung-ujungnya nampak tidak rasional dan tidak memiliki link dengan dengan kehidupan modern.”
Pendidikan dalam Islam tidak mengenal dikotomi seperti itu - tidak ada pemisahan urusan dunia dan masalah spiritual. Pengajaran Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Tidak melulu intelektualistik yang menghasilkan pribadi Rasional, Pragmatis, serba praktis. Tidak pula melulu spiritualistik yang terlalu asyik dengan ritual ibadah.
Islam memiliki pengajaran unik, konsep pendidikannya sangat menekankan ILMU. Ilmu dalam ISLAM berdimensi IMAN dan AMAL. Itu sebabnya konsep Pendidikan Islam sangat menuntut pemahaman 2 hal:
(1) Kedudukan IMAN, ILMU dan AMAL dalam jiwa manusia, --- kemudian,
(2) Bagaimanakah cara menanamkan itu semua ke dalam jiwa manusia.
Saya sangat kesulitan menemukan tempat pendidikan anak dengan visi seperti itu di sekitar kediaman saya. SD Islam Terpadu terlalu mahal dan ikut pusaran intelektualistik. Sering ditemukan SDIT mencantumkan Iman-Ilmu-Amal atau membentuk generasi Rabbani, faktanya jauh dari harapan. Pesantren Modern yang menjamur juga sama saja.
Budaya IKHLAS mencintai ilmu dan memuliakan guru atau Tuan Guru yang juga lkhlas transfer ilmu sementara ini hanya tersisa di pesantren salaf (BUKAN SALAFI! Wahabi!), dayeuh yang justru semakin ditinggalkan dan sebagian pesantren Modern, sisanya wallaahu a'lam.
Santri mulai pelajaran tahun I dengan mengaji kitab Ta'liimu muta'allim yang berisi adab (etika) Penuntut ilmu terhadap ilmu itu sendiri, terhadap guru, larangan dan anjuran dan hal lain yang relevan.
Semua pelaku dunia pendidikan Islam harus memahami benar bahwa jiwa manusia (nafs) adalah OBYEK pengajaran dalam sistem Pendidikan yang akan diterapkan. Pemahaman terhadap Konsep Jiwa Manusia Dalam Pandangan Islam ini sangat-sangat dibutuhkan sebelum bicara metode atau sistem pendidikan, karena jiwa manusia memiliki bagian-bagian penting yang saling berkaitan.
Fokus pendidikan Islam adalah : Bagaimana ilmu berproses sehingga ilmu melahirkan iman. Bukan bagaimana ilmu didapat (intelektualistik) seperti sistem pendidikan sekuler. Jika pendidikan Islam memperhatikan potensi batiniyah maka akan lahir manusia tinggi ilmu dan iman, sekaligus banyak amal.
Butuh pengorbanan IKHLAS berbagai kalangan bekerjasama dan berijtihad untuk menemukan kembali sistem pendidikan yang terintegrasi untuk PENGEMBANGAN JIWA ANAK DALAM SEMUA ASPEK KEJIWAANNYA.
0 komentar dan respon:
Posting Komentar