Hampir setiap rumah tersedia 'Kotak film nan Ajaib' produk teknologi 50 tahun terakhir. Ia ada di ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur atau bahkan di dapur. TV ada di relung-relung apartment mewah milik 'high class society' hingga menjadi hiburan murah dan mudah didapat oleh kaum jelata di rumah kumuh di gang sempit-becek atau rumah kotak di pinggir rel KA kawasan urban. TV juga mudah ditemukan di wilayah Public Area : lobby hotel, warung kopi, cafe, ruang tunggu atau perkantoran. Informasi begitu mudah didapat, hanya satu lemparan pandangan saja.
TV menjadi fenomena sosial, pelan tetapi pasti telah mengubah pola dan gaya hidup secara massive. Seperti pisau bermata dua, ia menjadi sumber berita dan wawasan baru di bidang apapun untuk memenuhi naluri ingin tahu. Disisi lain dapat menjadi media merusak dengan tayangan menyesatkan, penyebaran fitnah atau gossip, tayangan tak bermanfaat dan iklan yang cenderung mengajarkan perilaku hedonisme (mengejar kesenangan dunia semata) dan konsumerisme. Implikasinya masyarakat saat ini jauh lebih materialistik dan egois, nilai kekeluargaan menipis, etika dan moral terkikis, dan kehidupan sosial sarat konflik. Hal ini sangat jauh berbeda dengan generasi sebelumnya (25 tahun lalu) ketika belum ada TV swasta dan sementara program TVRI lebih terkontrol (diluar urusan politik banyak program yang baik untuk masyarakat).
Apakah kerusakan kehidupan sosial di atas semata-mata bersifat alami sebagai akibat kemajuan teknologi? Tentu jawabannya tidak. Ada indikasi kuat, ini hasil dari 'grand design' dengan misi merusak kehidupan sosial yang ada dengan Liberalisme, bukan saja di Indonesia sasarannya tetapi berlaku di seluruh dunia sehingga tercipta 'Tata Dunia Baru'. Yaitu masyarakat liberal (masyarakat bebas) yang mencampakkan etika dan moral agama, kearifan lokal dan nilai-nilai kekeluargaan.
Indonesia sangat rapuh kita tersandera utang LN dari negara-negara donatur yang juga negara tujuan porsi terbesar ekspor kita. Maka tidak aneh jika semua kebijakan tidak lepas dari kontrol tangan asing, negara pun tidak mampu atau bahkan hampir tidak ada 'political will' untuk menyelamatkan rakyatnya dari invasi budaya yang sangat merusak ini. Bahkan tidak aneh pula karena sistem ekonomi negara ini sudah mengambil bentuk kapitalisme yang lebih berpihak pada pasar, mengutamakan pemilik modal terutama modal asing yang semata-mata berorientasi hasil investasi dan pengurangan subsidi. Pilihan ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyatnya sendiri, maka ketika terjadi invasi budaya, ... ... ... ... ... ahhh! Biarkan saja.
TV swasta mungkin didirikan karena pertimbangan bisnis semata demi penghasilan iklan. dan programnya pun lebih mementingkan rating (selera pasar) meskipun tayangannya tak bermanfaat dan mengabaikan dampak sosial. Memang ada program yang sangat bagus seperti Kick Andy, Mario Teguh Golden Ways, "Para Pencari Tuhan", "Si Doel Anak Betawi" dan banyak lagi yang jumlahnya cuma 25%, tetapi faktanya sisanya 75% program sampah yang tak bermanfaat, sensasional bahkan merusak mental dan pikiran.
Komisi Penyiaran Indonesia mengeluarkan hasil Penilaiannya terhadap program tayangan televisi sampai September 2010 sebagai berikut : Program Bermanfaat (25%), Melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran P3-SPP (25%) dan Program Tak Bermanfaat dan Merugikan (50%). (sumber Harian Bisnis Indonesia, 7-10-2010)
Dewan Pers dan KPI menilai sejumlah stasiun TV melanggar Kode Etik Jurnalistik, Pedoman Perilaku Penyiaran - StandarProgram Penyiaran P3 - SPP karena menampilkan konflik, rekonstruksi kejahatan, penayangan pelaku dan korban secara vulgar. Misalnya proses penggerebekan perampok Bank CIMB di Deli Serdang Bedagai Sumatera Utara, tayangan konflik penduduk asli dan Pendatang di Tarakan, Kalimantan Timur dan Bentrok ratusan orang dari kelompok Maluku dan Timor di Jalan Ampera Jakarta Selatan.
KPI, MUI dan Kementerian Telekomunikasi Dan Informasi juga menemukan sampai pertengahan Ramadhan (akhir Agustus) 2010, ditemukan rata-rata 125 adegan kekerasan per hari atau 3-4 adegan kekerasan per jam per televisi setiap harinya. Adegan kekerasan fisik 39.9%, kekerasan psikis 38.9%, adegan mistis 3.5% dan adegan mesum 17.7% (sumber Harian Bisnis Indonesia, 7-10-2010).
Menghadapi kenyataan ini terasa semakin sulit menjaga etika-moral anak, namun kita tetap bertanggungjawab menjaga perkembangan mental dan pikiran mereka. Tentu saja saya tidak menyarankan tindakan ekstreem, hilangkan TV dari kehidupan keluarga. Saya hanya menyarankan filterisasi anak terhadap tayangan buruk, selektif memilih tayangan untuk anak kita.
Apa indikasi invasi budaya?
Apakah semua ini terjadi begitu saja? Tentu tidak. Sangat mungkin ada motif besar dari sekedar bisnis pertelevisian atau sadar ataupun tidak sadar terlibat dalam invasi budaya liberal yang memang menjanjikan nilai ekonomi tinggi. Ada 'grand design' untuk merusak moral bangsa yang mayoritas muslim ini dengan tayangan 'serba boleh' ala Amerika. 'Racun yang mengasyikan' ini bisa ditayangkan langsung sama persis aslinya atau dengan sedikit editing, atau tayangan populer dari Amerika diduplikat begitu saja menjadi versi Indonesia seperti One Millionaire atau Indonesian Idol oleh agen-agennya disini. Untuk apa pula kehadiran artis porno (Maria Ozawa dalam film "Menculik Miyabi", Yuzuki dalam film "Rayuan Arwah Penasaran" dan Tera Patrick dalam film "Rintihan Kuntilanak Perawan") yang dihadirkan oleh Production House K2K Dheraj, Festifal Film Q (yang mengkampanyekan Gay, Lesbian dan Bisexual / Heterosexal).
Aksi heroik pahlawan Amerika dalam memerangi teroris membius kita di layar TV sembari menikmati "American Pie" and "Sex City." Akibatnya mudah ditebak, Amerika menjadi trendsetter di seluruh dunia dan apa pun yang berbau Yankee - Amerika dilahap habis. Dan kita sudah memasuki orbit "Novum Ordo Sclorum" atau "Tata Dunia Baru." Misi yang terekam dalam lembaran pecahan 1 Dollar Amerika.
Artikel ke - 3 Posted : 10 Oktober 2010