Kata berhikmah darimana pun datangnya, hendaklah kita pungut. “Sebutir mutiara meski berada di mulut seekor anjing, ia tetaplah sebutir mutiara.”
Dengan begitu kita berharap hidup kian bermakna dari hari ke hari, dari waktu ke waktu sehingga bisa berharap menemukan “husnul-khotimah” (menghadap Rabbul Izzati di puncak potensi keimanan).
Title : Garam dan Telaga
Source: Masjid Azzaituun (Komunitas Alumni Al-Furqon - Remaja Masjid Az-Zaituun, Demangan, Yogyakarta periode tahun 80-an dan 90-an) / Bulletin Mocopat Syafa’at p.8
Telaga Kastoba di pulau Bawean
Lokasi : Desa Paromaan Kecamatan Tambak Pulau Bawean Kab. Gresik
Di suatu kampung yang sepi, hiduplah seorang tua nan bijak. Pada suatu pagi datang seorang pemuda yang sedang di rundung banyak masalah. Langkah gontai dan air mukanya tidak cerah. Setelah mengenalkan diri ia menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak mendengarkannya dengan seksama.
Setelah ia menyelesaikan kisahnya, Pak Tua mengambil 2 genggam garam, dan meminta tamunya mengambil segelas air. Ditaburkannya garam ke dalam gelas tersebut dan diaduk perlahan.
"coba minum ini, dan katakan rasanya?" ujar Pak Tua.
"Asin, sangat asin bahkan terasa pahit, pahit sekali", jawab tamunya sambil meludah-ludahkannya.
Pak Tua lalu mengajaknya berjalan ke telaga di dekat tempat tinggalnya. Sesampainya di tepi telaga yang tenang, Pak Tua kembali menaburkan 2 genggam garam ke telaga. Dengan sepotong kayu, ia mengaduk-aduk riak air, suaranya berkecipak-kecipak mengusik ketenangan alam telaga.
"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah!"
Selepas Pemuda itu meneguk air, Pak Tua bertanya "Bagaimana rasanya?"
"Segar dan menyejukkan", sahut tamunya.
Pak Tua bertanya lagi, "Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?"
"Tidak", jawab pemuda itu.
"Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan layaknya segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. jumlah rasanya bisa jadi sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan, sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Semuanya sangat tergantung pada HATI dan AKAL kita. Hati dan akalmu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jangan kita dijadikan seperti gelas, tapi buat laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan merubah menjadi kesegaran kebahagiaan.
Jadi, saat merasakan kepahitan kegagalan hidup, hanya satu yang bisa dilakukan. Lapangkan dadamu untuk menerima semuanya. Luaskan hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu dan optimalkan akalmu untuk menghadapi semuanya.
0 komentar dan respon:
Posting Komentar