Anda katakan kepada mereka:
“Ajaran agama kalian itu baru, dirintis Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Buktinya, tidak seorang muslim-pun sebelum Muhammad Ibn Abdul Wahhab yang mengharamkan perkataan: ”Yaa Muhammad” Bahkan orang yang oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab disebutnya sebagai “Syaikh al-Islam”; yaitu Ahmad ibn Taimiyah telah membolehkan ucapan “Ya Muhammad!” bagi orang yang sedang kesusahan karena tertimpa semacam lumpuh pada kakinya (al-Khadar).
Ibn Taimiyah menganjurkan bagi orang yang tertimpa semacam kelumpuhan kaki (tidak bisa digerakkan) untuk mengucapkan “Yaa Muhammad…”.
Rekomendasi Ibn Taimiyah didasarkan kepada apa yang dilakukan sahabat Abdullah ibn Umar, bahwa suatu ketika ia tertimpa al-khadar pada kakinya, lalu orang berkata kepadanya: “Sebutkan orang yang paling kau cintai!!”, kemudian Abdullah ibn Umar berkata: “Yaa Muhammad…”.
Al-khadar bukan kesemutan atau lumpuh permanen, tapi adalah lumpuh sementara sebab terlalu lama duduk atau semacamnya.
*****
Anda katakan kepada si Wahabi:
“Ibn Taimiyah yang kalian sebut sebagai “syaikh al-Islam” membolehkan perkara di atas, sementara kalian menamakan itu sebagai kekufuran. Dalam hal ini, bahkan Ibn Taimiyah sendiri terbebas dan tidak sejalan dengan apa yang kalian yakini.
Dengan dasar apa kalian mengaku sebagai bagian dari orang-orang Islam?! Kalian bukan orang-orang Islam, karena kalian mengkafirkan seluruh umat Islam yang mengucapkan ”Ya Muhammad...”, padahal tidak ada seorangpun yang mengharamkan perkataan ”Ya Muhammad...” kecuali kalian sendiri yang pertamakali mengharamkannya.
Barangsiapa mengkafirkan umat Islam maka dia sendiri yang kafir, karena umat ini senantiasa akan berada dalam agama Islam hingga hari kiamat. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
لَنْ يَزَال أمْرُ هذِه الأمّةِ مُسْتَقِيْمًا حَتّى تَقُوْمَ السّاعَةُ أوْ حَتّى يَأتِيَ أمْرُ اللهِ (روَاه البُخَاري
”Senantiasa urusan umat ini akan selalu dalam kebenaran hingga datang kiamat, atau hingga datang urusan Allah” (HR. al Bukhari)
Jika mereka berkata: ”Ibn Taimiyah tidak berkata demikian!!”
Maka Anda katakan kepada mereka:
”Buktinya ditulis oleh Ibn Taimiyah dalam bukunya ”al Kalim ath Thayyib”. Ulama yang menulis biografi Ibn Taimiyah mengatakan bahwa ”al Kalim ath Thayyib” benar-benar sebagai salah satu karya-karyanya, di antaranya disebutkan oleh Shalahuddin ash-Shafadi; salah seorang yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah dan banyak mengambil darinya.
Seorang pemuka Wahhabi; al Albani, juga mengakui “al Kalim ath Thayyib” adalah salah satu karya Ibn Taimiyah, dan bahkan ia membuat catatan tambahan (ta’liq) terhadap kitab tersebut, walaupun ia berkata bahwa sanad tentang perkataan sahabat Abdullah ibn Umar tersebut adalah dla’if.
Walaupun al-Albani menilai sanad perkataan Ibn Umar tersebut dla’if tetapi penilaiannya sama sekali tidak memberi pengaruh apapun, sebab Ibn Taimiyah telah mengutip riwayat itu dengan menamakan ”Fasal: Tentang kaki bila terkena al-khadar”, lalu ia menamakan kitab tersebut dengan ”al-Kalim ath-Thayyib” atau ”Perkataan yang baik” (Lihat kitab, h. 73).
Seandainya benar sanad riwayat tersebut dla’if (seperti sangkaan al Albani); tetapi Ibn Taimiyah jelas membolehkan dan karenanya ia kutip dalam kitabnya tersebut.
Dari sini Anda katakan kepada mereka:
”Dengan demikian siapa sebenarnya yang telah kafir, apakah Ibn Taimiyah yang kalian sebut ”Syaikh al-Islam” atau kalian sendiri?!
Secara tersirat kaum wahhabi telah mengkafirkan Ibn Taimiyah; baik mereka sendiri sadar atau tidak. Namun, tentu mereka tidak berani mengatakan Ibn Taimiyah kafir, juga mereka tidak akan mengatakan bahwa mereka sendiri sebagai orang-orang kafir. Mereka tidak akan memiliki jawaban untuk ini.
Katakan kepada mereka:
”Ajaran kalian itu baru sebab dengan pendapat kalian yang mengharamkan perkataan ”Ya Muhammad...” berarti kalian mengkafirkan seluruh umat Islam dari masa Rasulullah hingga sekarang. Bahkan sadar atau tidak; kalian telah mengkafirkan ”imam utama” kalian, Ibn Taimiyah yang jelas membolehkan perkataan ”Ya Muhammad...” saat kaki terkena al-khadar”.
Mereka akan terdiam seribu bahasa tidak memiliki argumen.
Tentang penilaian al-Albani yang mengklaim riwayat perkataan Ibn Umar tersebut sebagai sanad yang dla’if, penilaiannya sama sekali tidak dapat dijadikan landasan.
Karena al-Albani tidak punya otoritas untuk melakukan penilaian hadits; dla’if atau shahih. Dia bukan seorang hafizh al-hadits, bahkan diakui sendiri bahwa ia tidak hafal walaupun hanya 10 hadits saja dengan sanad-sanadnya. Ia hanya mengakui bagi dirinya sendiri bahwa dia ”muhaddits kitab” bukan ”muhaddits hifzh”.
Jika orang Wahhabi berkata: ”Ibn Taimiyah meriwayatkan perkataan Ibn Umar tersebut dari seorang perawi yang masih diperselisihkan (Mukhtalaf fih)”, maka anda katakan kepada mereka:
”Ibn Taimiyah jelas meriwayatkannya dalam kitabnya tersebut, itu bukti bahwa ia menganggap baik perkataan ”Ya Muhammad...”, baik riwayat tersebut shahih ataupun tidak. Karena seorang yang meriwayatkan sesuatu yang batil sementara ia tidak mengingkarinya itu artinya ia menganggap baik sesuatu tersebut dan menyeru kepadanya.
Perkataan Abdullah ibn Umar diatas diriwayatkan oleh al Hafizh Ibn as Sunny (’Amal al Yaum Wa al Laylah, h. 72-73), juga oleh Bukhari dalam kitab al Adab al Mufrad (h. 324) dengan jalur sanad selain sanad Ibn as Sunny. Juga telah diriwayatkan oleh al Hafizh al Kabir Imam Ibrahim al Harbi; seorang yang dalam ilmu dan sikap wara’-nya serupa dengan Imam Ahmad ibn Hanbal, dalam kitab Gharib al Hadits, dengan jalur sanad selain sanad Ibn as-Sunny (Gharib al Hadits, j. 2, h. 673-674).
Diriwayatkan pula oleh al Hafizh an Nawawi (al Adzkar, h. 321), oleh al Hafizh Ibn al Jazari dalam kitab al Hishn al Hashin dan ’Iddah al Hishn al Hashin (h. 105), dan oleh asy Syaukani; seorang yang dalam beberapa masalah sejalan pemahaman Wahabi.
Lihat -wahai orang-orang Wahabi-, asy Syaukani meriwayatkannya dalam Tuhfah adz-Dzakirin (h. 267), sementara kalian menganggap perkataan ”Ya Muhammad...” sebagai kekufuran?!
Wahai Wahhabi hendak lari kemana kalian?
Jelas tersingkap ”kedok sesat ” ajaran kalian. Lihat! Ibn Taimiyah sebagai imam kalian, dan sebagai imam utama dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang banyak mengambil faham sesatnya telah meriwayatkan dalam karyanya sendiri, ”al-Kalim ath-Thayyib”.
Jika Wahhabi berkata: ”Kita yang benar, sementara Ibn Taimiyah tidak benar karena telah menghalalkan perbuatan syirik dan kufur.”
Katakan kepada mereka:
”Kalian mengkafirkan imam terkemuka kalian sendiri yang jadi referensi utama kalian dalam akidah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya) dan banyak kesesatan lain. Itu berarti pengakuan kalian bahwa kalian mengikuti seseorang yang kalian anggap kafir, padahal dia ini rujukan utama dalam berbagai permasalahan akidah yang kalian yakini.
Lihat, kalian telah mengikuti Ibn Taimiyah dalam penyataan kufurnya bahwa Kalam Allah dan Kehendak-Nya adalah baharu dari segi materi (al-Afrad) dan qadim dari segi jenis (al-Jins/an-Nau’). Kalian juga mengikutinya dalam keyakinannya bahwa jenis alam ini azaly (tidak bermula) ada bersama Allah bukan sebagai makhluk.
Lihat, dengan kekufurannya kalian jadikan dia sebagai ikutan dan sandaran dalam segala keyakinan kalian yang nyata telah menyalahi kebenaran. Sementara, di saat yang sama, kalian menyalahi dia pada perkara dimana ia telah sesuai dengan kebenaran di dalamnya; yaitu kebolehan mengucapkan kata ”Yaa Muhammad...” ketika dalam keadaan sulit atau saat tertimpa musibah.
Katakan kepada mereka;
”Pengakuan kalian sebagai kelompok salafi adalah bohong besar. Siapakah di antara ulama Salaf yang melarang mengatakan kata ”Yaa Muhammad...” saat dalam kesulitan? Haram bagi kalian mengaku sebagai kaum Salafi, karena penamaan ini menipu orang awam. Padahal kalian sedikit pun tidak berada di atas keyakinan Ulama Salaf, juga tidak di atas keyakinan Ulama Khalaf. Kalian datang dengan membawa agama dan ajaran yang baru.
DUDUK PERKARA SEBENARNYA
Sesungguhnya mengucapkan kata ”Yaa Muhammad...” untuk tujuan meminta tolong (istigatsah) adalah perkara yang telah disepakati kebolehannya oleh para ulama Salaf dan ulama Khalaf; baik di masa Rasulullah hidup atau setelah wafat.
Adapun yang dilarang dalam syari’at adalah mengucapkan kata ”Yaa Muhammad...” di hadapan wajah Rasulullah di masa hidupnya untuk tujuan memanggilnya, yaitu setelah turun firman Allah:
لاَتَجْعَلُوا دُعَآءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضَكُم بَعْضًا (النور: 63
”Janganlah kalian jadikan panggilan terhadap Rasulullah di antara kalian seperti sebagian kalian memanggil sebagian yang lainnya” (An-Nur: 63).
Diharamkan perkara ini adalah karena ada suatu kaum bersifat kasar memanggil Rasulullah dari luar rumah dengan mengatakan ”Yaa … Muhammad keluarlah engkau kepada kami...!!”. Dari sebab ini kemudian Allah mengharamkan perkara ini karena untuk memuliakan Rasulullah.
Adapun tentang seorang sahabat yang buta yang bertawassul dengan Rasulullah supaya mendapatkan kesembuhan dari butanya; yang kemudian Rasulullah mengajari dia beberapa kalimat doa untuk ia bacakan; maka bacaannya tersebut tidak dibacakan hadapan Rasulullah. Doa tersebut yaitu:
اللّهُمّ إنّي أسْألُكَ وَأتَوَجَّهُ إلَيكَ بِنَبِيّنَا مُحَمّدٍ نَبيّ الرّحْمَة يَا مُحَمّدُ إنّي أتَوَجّهُ بِكَ إلَى رَبّي عَزّ وَجَلّ فِي حَاجَتِيْ
”Ya Allah! Sesungguhnya aku meminta kepada-Mu menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu; Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Yaa…Muhammad! sesungguhnya saya denganmu menghadap kepada Tuhan saya dalam kebutuhanku ini.”
Dalam riwayat hadits ini Rasulullah berkata kepada sahabat buta tersebut:
”Pergilah ke tempat wudlu, berwudlulah, lalu kerjakan shalat 2 raka’at, Lalu berdoalah dengan membaca doa-doa itu” (HR. Ath Thabarani, lihat al Mu’jam al Kabir, j. 9, h. 17-18 dan al Mu’jam ash Shagir, h. 201-202).
Ia lalu keluar dari majelis Rasulullah, berwudlu, lalu shalat 2 raka’at, dan membaca doa tawassul dengan Rasulullah. Setelah menyelesaikannya ia kembali menghadap Rasulullah dalam keadaan dapat melihat. Dengan demikian doa yang dibacakan oleh sahabat buta tersebut tidak di hadapan Rasulullah pada masa hidup beliau.
Katakan kepada Wahabi;
”Kalian ambil pendapat Ibn Taimiyah dalam karyanya “at Tawassul Wa al Wasilah” bahwa tawassul hanya boleh dilakukan dengan orang yang hadir di hadapan dan masih hidup, namun terhadap tawassul (istighatsah) dengan orang yang sudah wafat; yang padahal oleh Ibn Taimiyah dikatakan sebagai perkara baik, seperti bertawassul dengan Rasulullah setelah wafatnya; kalian salahkan dan menuduh perkara itu syirik dan kufur.
Alangkah naifnya kalian, betul-betul jauh dari kebenaran.”
Katakan pada si Wahabi untuk membantah pendapat mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas; atau di Arsy;
”Seseorang posisinya berdiri, apakah dari segi jarak posisi kepalanya lebih dekat kepada arsy dibanding seorang yang sedang dalam posisi sujud?” Mereka pasti menjawab bahwa yang dalam posisi berdiri lebih dekat kepada arsy. Lalu kita katakan kepada mereka: ”Kalian telah menjadikan arsy sebagai tempat bagi Allah, padahal ada hadits yang menolak pemahaman sesat kalian ini; adalah riwayat Imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda:
أقْرَبُ مَا يَكُوْنُ العَبْدُ مِنْ رَبّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فأكْثِرُوا الدّعَاء (رَوَاه مُسْلِمٌ
”Seorang hamba yang paling ”dekat” kepada Allah adalah saat dia dalam posisi sujud, maka hendaklah kalian memperbanyak doa” (HR. Muslim).
Kalian katakan bahwa metode takwil sama dengan ta’thil; artinya menurut kalian memberlakukan takwil sama saja mengingkari wujud Allah dan mengingkari sifat-sifat-Nya; atau dalam istilah kalian ”at-ta’wil ta’thil”.
Ini artinya saat kalian menolak takwil, berarti sama saja kalian mengakui bahwa keyakinan kalian bathil, karena keyakinan kalian berlawanan dengan pemahaman zahir (literal) hadits tersebut.”
Adapun kami - kaum Ahlussunnah - memahami firman Allah:
الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5
Dan seluruh ayat atau hadits yang secara zahir (literal) seakan bahwa Allah memiliki tempat dan arah, atau memiliki anggota badan dan bentuk (batasan), bergerak dan pindah, atau sifat apapun yang seakan bahwa Allah serupa dengan makhuk-Nya; - ini semua kita pahami dengan metode takwil, baik takwil Ijmali atau takwil tafshili, sebagaimana dicontohkan ulama Salaf, yang kemudian diikuti para ulama Khalaf.
Kita katakan;
”Makna teks-teks semacam itu semua bukan dalam makna zahirnya, tetapi itu semua memiliki makna yang sesuai bagi keagungan Allah yang sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya.
Inilah yang dimaksud dari perkataan ulama Salaf ”Bila Kayf Wa La Tasybih”. Ulama Ahlussunnah mengatakan bahwa makna ”Bila Kayf” yang dimasud adalah bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabihat seperti tersebut di atas tidak dipahami dalam pengertian benda atau sifat-sifat benda. Inilah pemahaman yang benar dari maksud perkataan ulama Salaf dan ulama Khalaf ”Bila Kayif.”
Sementara si Wahhabi, mulutnya mengatakan ”Bila Kayf”, tapi hatinya meyakini adanya kayf (sifat benda).
Memang metode takwil tafshili tak semua ulama Salaf melakukannya. Imam Ahmad ibn Hanbal misalnya, mentakwil firman Allah: ”Wa Ja’a Rabbuka” (QS. Al-Fajr: 22) dengan mengatakan bahwa yang dimaksud ”ja’a” adalah ”datangnya” pahala dari Allah. Riwayat lain mengatakan bahwa yang dimaksudkannya adalah ”datangnya perintah Allah” (Lihat al Bidayah Wa an Nihayah, j. 10, h. 327).
Sementara Wahabi mengatakan dalam mamahami ayat diatas bahwa; Allah turun secara indrawi. Dalam keyakinan mereka Allah pindah dari Arsy ke bumi sebagaimana Malaikat turun secara indrawi; yaitu turun dengan pindah dari arah atas ke arah bumi pada hari kiamat kelak.
Seandainya Imam Ahmad berkeyakinan seperti kalian, tentu ia tidak akan mentakwil ayat diatas; tentu akan memahaminya sesuai zahirnya seperti yang kalian pahami, tapi faktanya beliau melakukan takwil. Perkataan Imam Ahmad ini diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan disahihkan dalam kitab Manaqib al-Imam Ahmad.
Demikian pula firman Allah ”Yauma Yuksyafu ’An Saq” (Al-Qalam:42) ditakwil secara tafshili oleh sebagian ulama Salaf; mereka katakan yang dimaksud “as-Saq” dalam ayat ini adalah “huruhara (kesulitan) yang teramat dahsyat”, (artinya Allah akan mengangkat huruhara tersebut di hari kiamat kelak dari orang-orang mukmin) (Lihat Fath al Bari, j. 13, h. 428, al Asma Wa as Shifat, h. 345).
Sementara kalian wahai Wahabi memaknai “saq” pada ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah memiliki betis sebagaimana manusia memiliki betis yang merupakan salah satu anggota badannya. Bagaimana kalian mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya dengan keyakinan yang rusak? Dengan demikian menjadi jelas bahwa pengakuan kalian sebagai pengikut Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bohong besar.
Sementara itu Imam al Bukhari menyebutkan takwil 2 ayat al Qur’an. Pertama; beliau mentakwil firman Allah:
كُلُّ شَىءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَه (القصص: 88
Imam Bukhari mengatakan makna “al Wajh” dalam ayat tersebut adalah “al Mulk”; artinya kerajaan atau kekuasaan (Shahih al Bukhari, tafsir Surat al Qasas). Takwil ayat ini demikian juga telah disebutkan oleh Imam Sufyan ats Tsauri dalam kitab Tafsir-nya (Tafsir al Qur’an al Karim, h. 194).
Kedua; Imam al Bukhari mentakwil firman Allah:
هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56
ditakwil dalam makna “al mulk wa as sulthan” artinya “kerajaan dan kekuasaan” (Shahih al Bukhari, Tafsir Surat Hud). Imam al Bukhari tidak pernah mentakwil ayat ini seperti yang kalian yakini dalam pengertian bahwa Allah bersentuhan.
Benar, makna literal dari ayat tersebut seakan Allah menyentuh setiap ubun-ubun segala binatang, namun memaknainya seperti ini jelas tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Allah tidak disifati dengan menyentuh, dan atau disentuh; sebab menyentuh maupun disentuh adalah dari tanda-tanda makluk.
Adapun takwil hadits riwayat Imam Muslim tersebut di atas adalah bahwa makna “al Qurb” disini bukan dalam pengertian dekat dari segi jarak. Demikian pula dengan redaksi hadits yang seakan-akan Allah bertempat di arah atas; itu semua tidak boleh dipahami secara literal (harfiah), tetapi harus dipahami dengan metode takwil.
Dengan demikian bagaimana kalian mengatakan bahwa metode takwil sama saja dengan ta’thil (menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah)? Juga dengan dasar apa kalian mengatakan bahwa metode takwil adalah kufur?
Katakan kepada mereka untuk terakhir kali:
“Jika kalian tidak memahami hadits riwayat Imam Muslim ini dengan makna zahirnya (harfiah) maka berarti kalian melakukan takwil, dan bila demikian maka berarti kalian telah menyalahi diri kalian sendiri yang anti terhadap takwil. Kalian mengatakan: “Takwil adalah ta’thil”, sementara kalian sendiri memberlakukan takwil.
Source:mahrusaligpl
Dalam perspektif terkini, Wahabi menjadi kelompok yang menghasut perpecahan konflik di tubuh ummat Islam, caci-maki dan umpatan mereka menjadi fitnah bagi ummat Islam.
contohnya sederhana, siapakah yang pertamakali mencaci agama kristen di internet?
dari pihak yang mengaku Islam ternyata hanya Wahabi ini yang pertama mencaci kristen, setelah itu si Wahabi-nya lenyap. Bola panas berbelok menyerang orang Islam. Alhasil Islam dan kristen berperang, baik di internet maupun di dunia nyata. Membuncahkan kebencian Nashrani di benua Eropa dan Amerika yang memang dari sananya sudah benci Islam. Dan muslim disana yang menjadi korbannya.
jadi berhati-hatilah dari makar busuk kaum Wahabi.
Wallaahu a’lam
READ MORE ... Monggo di-Klik