OPINI | 11 July 2013 | 13:47 Dibaca: 2128 Komentar: 16 6
Campur aduk rasanya melihat berita tentang Mesir. Coup d’etat di Mesir adalah ironi di tengah dunia yang semakin beradab. Mursi, presiden yang hafal seluruh isi al-Quran itu adalah presiden Mesir yang terpilih secara sah dan konstitusional setelah memenangkan pemilu yang demokratis sebagai buah dari revolusi Arab Spring di Mesir tahun lalu.
Mursi sewaktu menjadi relawan Mesir pasca tsunami di Aceh akhir Desember 2004. Kini Mohammed Mursi Presiden sah negeri Kinanah - Mesir.
Namun rumusan sejarah sejak zaman primitif masih saja berulang, ada kelompok dalam kontentasi pemilu yang tidak siap menerima kekalahan. Mereka melakukan kerusuhan, anarkisme, bahkan hingga perkosaan massal. Barbar.
Amerika sendiri yang acap bicara demokrasi terlihat ambigu dan galau. Ada dua ambugitas amerika. pertama Amerika tidak tegas untuk mengatakan bahwa penggulingan presiden sah Mesir Mohammed Moursi adalah sebuah kudeta militer. Kedua, inkonsistensi AS dengan tetap memberikan bantuan militer kepada Mesir pasca pelengseran Mursi. Bahkan akan tetap meneruskan rencananya mengirimkan empat pesawat jet tempur F-16 ke Mesir dalam beberapa minggu mendatang. Padahal hukum AS melarang pemberian bantuan kepada pemerintah asing hasil kudeta terhadap pemimpin yang terpilih secara demokratis. Setiap tahunnya, AS memberikan bantuan sebesar 1,5 milliar dolar kepada pemerintah Mesir dimana 1,3M dialokasikan untuk militer, terbesar kedua setelah bantuan kepada Israel. Pasca kudeta ini, AS tetap memberikan bantuan dengan mencari-cari celah untuk mendefinisikan ulang, “apakah penggulingan Mursi dapat disebut sebagai kudeta militer?”
Sebuah inkonsistensi dan standard ganda yang sangat telanjang. Sikap ini sekaligus menggambarkan bagaimana tesis Samuel Huntington (1927 –2008) The Clash of Civilizations yang tersohor itu masih relevan sampai sekarang. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order yang merupakan perluasan dari artikelLuar Negeri 1993 ditulis oleh Samuel Huntington sebagai hipotesis tatanan dunia baru pasca-Perang Dingin itu setidaknya menempatkan Peradaban Islam sebagai satu dari tujuh peradaban dunia selain barat “yang perlu diperhatikan”.
Kudeta Mesir sendiri sebetulnya hanyalah de javu atas tragedi serupa yang terjadi di al-Jazair dimana kemenangan kelompok Islam Front Islamique du Salut yang menang mutlak 51% pada 1991 (dan meraih 81% kursi parlemen) akhirnya dikudeta oleh militer negara itu. Juga de javu serupa atas kemenangan kelompok Islam HAMAS (harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah) di Palestina tahun 2006 yang akhirnya justru diboikot oleh dunia barat.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah kelompok Islam dilarang memenangkan pemilu? Bukankah mereka telah mengikuti prosedur demokrasi secara sah dan konstitusional. Mengapa jika pemilu dimenangkan kelompok Islam mereka berat menerima kenyataan? Tampaknya sikap paranoid dari kelompok islamophobiaterhadap kemenangan kelompok islamist democrat telah menjadikan mereka lupa bahwa pemilu adalah cara yang paling fair untuk berkontestasi dalam Negara modern, dan kudeta adalah cara masyarakat primitive dimana kekuatan senjata mengalahkan logika.
Universalisme demokrasi yang acapkali diserukan barat akhirnya menjelma kedustaan, karena Barat dihinggapi ´ideologi ketakutan’ terhadap peradaban Islam –akibat buku-buku yang mereka baca merupakan produk dari crusade yang efeknya masih terasa. Apakah kita juga bisa mengatakan bahwa demokrasi sebetulnya hanyalah produk partikular barat yang tidak universal? Bukankah ideologi, menurutRolland Barthes (Ian Adam: 2007), seorang teoritisi budaya asal prancis, selalu meniscayakan penganutnya untuk “menaturalkan hal-hal yg pada faktanya kultural, dan me-universalkan hal-hal yg pada faktanya partikular”
Ah, Kita masih berharap pada Turki, dimana kemenangan kelompok Islamis Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) yg kini dipimpin Erdogan akan menyanggah semua kekhawatiran itu. Turki yg perlahan menuju menjadi Negara industri dibawah AKP sedang menuju kemajuan. Angka wisatawan meningkat dari 4juta menjadi 35juta, tingkat kesejahteraan naik 300%. Keberhasilan Turki juga kerap diulas di harian Al Ahram, dan Al Akhbar (Mesir), Aljazirah (Qatar), Al Sharq Al Awsat (Saudi), Al ‘Arabiyah, dan Al Khalij. Kelompok AKP sebetulnya mewakili fenomena baru sebagai apa yang disebut oleh pengamat dengan istilah “islamist democrat”, sebuah kelompok Islam yang berusaha mengimplementasikan tujuan-tujuannya melalui prosedur-prosedur demokrasi. Keberhasilan Turki harusnya menjadi contoh bagi As-Sisi bahwa kemenangan kelompok Islamis tidak perlu ditakuti.
Anda Salah Perhitungan, Jenderal!
Selayak film The Curse of Golden Flower, rupanya As-Sisi salah berhitung. Apakah ia lupa bahwa menjadikan para penentang Mursi di Tahrir Square sebagai representasi Rakyat Mesir adalah sebuah kekeliruan. Mereka hanyalah kelompok minoritas kalah pemilu yang tidak bisa menerima kekalahan. Tidak mereprsentasikan keinginan mayoritas rakyat Mesir. Justru yang terjadi berikutnya adalah gelombang tsunami pendukung Mursi. Pemandangan yang terlihat kemudian adalah 30 juta rakyat sebagaimana dilaporkan BBC tumpah ruah di seluruh Mesir menuntut dikembalikannya otoritas Mursi sebagai presiden yang sah.–
pendukung Mursi Shalat Tahajjud berjamaah
demikian padatnya pendemo sehingga tempat tidak mencukupi, pendukung Mursi shalat di atas pohon
muslimah siapkan kafan untuk dirinya demi mempertahankan presiden Mursi
jadwal menikah sudah ditetapkan, tetap menikah meski sambil demontrasi dukung Mursi
perjuangan ini karena kebenaran, dan Tuhan memerintahkan ummat-Nya untuk membela kebenaran
demikian damai aksi dukung Mursi hingga disediakan pos khusus utk “barang hilang”
tarawih pendukung Mursi
bisa dikatakan, jamaah tarawih pendukung Mursi ini diikuti umat Islam terbanyak setelah tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi
sujud menghamba, meminta pertolongan pada Tuhan yang Membela Kebenaran
siapa sebetulnya yang tidak siap berdemokrasi?
Foto2: Islamedia, bersamadakwah
Militer sendiri kemudian dikabarkan terpecah antara kelompok pendukung kudeta dan penentangnya. Uni Afrika melalui Ketua Komisinya Nkosazana Dlamini-Zuma segera membekukan keanggotaan Mesir dari organisasi negara-negara benua hitam itu.Amnesty international mengecam kebrutalan militer setelah sebelumnya Human Rights Watch melaporkan kebiadaban penentang Mursi. Disebabkan As-Sisi, Mesir terancam kehilangan legitimasinya sebagai Negara.
Yang terjadi kemudian adalah kepanikan As-Sisi. Secara natural jenderal tersebut pasti mengkhawatiri keadaan dirinya melihat efek gempa yang dibuatnya sendiri.Hanya dalam hitungan hari As-sisi secara sempurna mewarisi diktatorisme Gamal Abdel Nasser yang menangkap membunuhi aktivis Ikhwanul Muslimin di era awal.
Dan khawatir reputasinya sebagai jenderal runtuh, pemandangan berikutnya adalah kegilaan. Bagaimana nurani kita bisa membenarkan berondongan peluru ditujukan untuk membunuhi rakyat yang semestinya mereka lindungi pada saat rakyat menunaikan ibadah sholat shubuh hingga menewaskan 53 orang? Padahal sebelumnya mereka mendiamkan pendemo di Tahrir Square di masa Mursi. As-Sisi tidak ingin harga dirinya jatuh dan keselamatannya terancam karena kudetanya diambang kegagalan. Akhir tragis dari As-Sisi hanya menunggu waktu, seperti menonton the Curse of Golden Fower, dimana pihak penentang kekuasaan yang sah harus mengakui kegagalan kudetanya sebab lebih banyak pendukung yang menaruh setia kepada kaisar.
Gambar-gambar di bawah ini akan menunjukkan agar kita tahu: Kelompok Islam atau kelompok sekularkah yang membuat Mesir bersimbah darah. As-Sisi sebaiknya berikir ulang dan menyadari dengan siapa dia berhadapan; Ikhwanul Muslimin… sebuah gerakan Islam terbesar di dunia. Kini ia sedang bergerak dengan dukungan rakyat…
Kini kita melihat negeri kinanah Mesir menjadi muram. Hari-hari Ramadhan seperti hari yang gelap dimana awan hitam berarak di langit. Orang-orang waras dan sadar akan berdo’a agar awan gelap tersebut segera menurunkan hujan lebat. Menyuburi bumi Mesir untuk kemudian mencipta cerah berpelangi indah.
Source : Kompasiana
0 komentar dan respon:
Posting Komentar