Media seharusnya mengawal dan memberitakan demokrasi secara berimbang, Namun bagaimana jika media telah menciderai nilai-nilai jurnalistik dengan penulisan distorsi pemberitaan pemenang proses demokrasi karena orientasi politik, uang, kepentingan dan ideologi berbeda? Berikut ini ulasan berita dari Tempo.co yang telah memelintir dari sumber beritanya The Guardian karena tidak fair dan tidak suka dengan arus politik Islam
Ganjar Widiyoga
(calon doktor Hubungan Internasional di Inggris)
Media menjadi salah satu pilar demokrasi bukan tanpa alasan. Media diperlukan untuk mengontrol perilaku eksekutif, legislatif dan yudikatif. Media diharapkan membuka borok penyelenggara negara dan mengapresiasi prestasi mereka. Informasi yang muncul dari media menjadi dasar masyarakat untuk memberikan suara mereka pada partai politik dan kandidat yang mereka pandang berprestasi dan memperjuangkan aspirasi.
Namun di Mesir, media justru menjadi perpanjangan tangan aktor politik. Media yang banyak dimiliki oleh kroni Mubarak ini secara beruntun menyajikan berita dan informasi yang anti-Mursi dan tanpa sungkan menyajikan nara sumber yang berat sebelah. Penelitian Dr. Muhammad Elmasry, Asisten Profesor Komunikasi Publik di American University in Cairo (bisa dibuka di Jadalliya) menjelaskan bagaimana berat sebelahnya media di Mesir. Media pro-Mursi berusaha mengimbangi, namun pengalaman media-media pro-Mursi kalah jauh dibandingkan dengan media-media anti-Mursi. Satu-satunya media besar yang netral adalah Al Jazeera Mesir. Karena itulah, setelah militer mengambil alih kekuasaan, militer menutup media-media pro-Mursi dan Al Jazeera Mesir, menyegel kantor dan menangkapi para wartawan, termasuk wartawan Al Jazeera Mesir.
Perilaku media ini patut disayangkan. Agaknya memang sulit menempatkan diri sebagai penjaga demokrasi. Bahkan media di Indonesia pun seringkali menghadirkan berita yang tidak berimbang. Kasus terbaru adalah berita diturunkan oleh satu media nasional, menyebutkan 'Empat Alasan Mursi Ditumbangkan' (bisa dilihat tempo.co). Sadar atau tidak, artikel ini memelintir berita dan menumbuhkan citra buruk bagi Presiden Mursi.
Artikel ini sejatinya merujuk pada artikel di Guardian (bisa dilihat di Guardian). Namun, judul asli di Guardian adalah “"Mohammed Morsi: the Egyptian Opposition Charge Sheet". Jika dibahasaindonesiakan, artikel Guardian tersebut lebih pas mendapatkan judul "Tuduhan Oposisi pada Mursi". Tuduhan, bukan fakta.
Inilah pelintiran pertama yang terjadi. Bisa jadi, ada khilaf dalam proses penerjemahan. Namun mencermati isi artikel di media Indonesia tersebut, nampak jelas memang artikel itu ingin membangun opini bahwa Mursi layak digulingkan.
Pelintiran kedua terjadi dalam proses penerjemahan isi. Artikel di Guardian memberitakan secara berimbang apa yang menjadi tuntutan oposisi dan bagaimana alasan pendukung Mursi. Secara mandiri, artikel yang diterjemahkan ini bisa jadi memberikan porsi yang lebih banyak pada tuntutan oposisi. Namun meletakkan dalam konteks rangkaian berita Guardian secara lebih komprehensif, kita dapat melihat bahwa Guardian sangat berhati-hati dalam menjaga obyektivitas dan keseimbangan pemberitaannya. Maka, menjadi lucu saat artikel media di Indonesia tersebut tidak menerjemahkan beberapa poin di Guardian, poin-poin yang dapat menjadi penyeimbang tuduhan tersebut.
Terkait tuntutan oposisi sendiri, ada banyak analis internasional yang membantahnya. Richard Falk, seorang cendekiawan ternama hubungan internasional menulis opini khusus tentang Mursi (aljazeera.com). Inti dari pendapat Falk adalah, Mesir pasca-Mubarak dalam kondisi yang carut-marut. Negarawan sekelas Nelson Mandela saja mungkin akan mengalami kesulitan mengelolanya. Apalagi Mursi, yang masih hijau di dunia pemerintahan dan baru satu tahun menjabat?
Secara lebih detail, saya akan membahas tuduhan oposisi terhadap Mursi yang dimuat oleh artikel di media nasional di atas.
1. Dominasi Ikhwan di Pemerintahan
Dominasi Ikhwan di Pemerintahan adalah tuduhan terlucu yang dapat dilontarkan pihak oposisi. Dalam pemerintahan demokratis, wajar jika pemenang pemilu menguasai pemerintahan. Partai Kebebasan dan Keadilan memenangkan pemilu dengan suara 40%. Wajar jika kemudian mereka memiliki anggota dewan terbanyak dan menjadi mayoritas di parlemen. Itupun, Mursi menahan diri dengan hanya mengangkat tiga orang menteri dari Ikhwan (kemudian belakangan menambah dua orang lagi, menjadi lima orang). Menteri-menteri lain diangkat dari kalangan professional non-partisan.
Mempermasalahkan ini sama saja dengan mempermasalahkan kenapa jumlah anggota DPR-RI dari Partai Demokrat lebih banyak dari partai-partai lain, atau kenapa jumlah menteri Partai Demokrat lebih banyak daripada jumlah menteri dari PDIP. Lucu dan tidak masuk akal.
Terlebih, berkali-kali Mursi mengajak pihak oposisi untuk bekerja sama dalam menyusun konstitusi dan menjalankan pemerintahan, namun oposisi menolak. Penolakan pihak oposisi merupakan hak mereka. Namun menggelikan jika mereka di satu sisi menolak tawaran Mursi, di sisi lain mengeluh karena tidak terlibat dalam pemerintahan.
2. Ekonomi memburuk
Buruknya ekonomi Mesir merupakan warisan Mubarak. Birokrasi di masa Mubarak adalah birokrasi yang korup, dan birokrasi ini masih bertahan di masa Mursi. Mursi sudah berupaya melakukan reformasi birokrasi, namun upaya ini juga harus dilakukan dengan hati-hati. Salah-salah, upaya reformasi birokrasi yang terlalu agresif akan memperkuat tuduhan oposisi bahwa Mursi berupaya menyingkirkan lawan politik dan melakukan IM-isasi pemerintah.
Berkaca dari pengalaman Indonesia, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi adalah proses panjang yang mustahil diselesaikan dalam satu tahun. Tidak tepat jika kemudian melimpahkan seluruh kesalahan itu pada presiden berikutnya jika sumber kesalahan berada pada pemerintahan lama. Ini sama saja dengan menyalahkan. Artikel Guardian berikut menyajikan analisis singkat tentang kondisi Mesir dan apa yang sudah Mursi lakukan (bisa dilihat di guardian.co.uk).
3. Pelanggaran HAM
Polisi Mesir adalah polisi yang terkenal paling kejam dan melanggar HAM. Mereka terlatih dan dibiarkan melakukan itu sejak zaman Nasser. Bahkan tidak terhitung berapa anggota Ikhwan yang meninggal akibat siksaan polisi. Saat Mursi memerintah, polisi masih polisi lama. Banyak tindakan mereka yang tidak dapat dikontrol Mursi.
Serangan ke Gereja Koptik memang terjadi, tapi pelakunya tidak jelas. Polisi tidak dapat (tidak mau?) mengusut kasus ini. Saat itu pemuda Ikhwan sempat menawarkan untuk membantu menjaga gereja-gereja (english.ahram.org), namun mereka tidak dapat mencegah kekerasan yang meluas karena memang itu kewajiban polisi.
Intinya, kekerasan BUKAN karena instruksi Mursi/pemerintahnya. Pelakunya belum teridentifikasi dan polisi yang mewarisi budaya lama kesulitan (enggan?) mengusutnya.
4. Dekrit Presiden
Ini dilakukan Mursi karena banyak antek Mubarak di pengadilan (reuters.com, arabnews.com) dan MK mencoba menggulingkan Mursi dengan berbagai tuduhan (guardian.co.uk). Karena itu, Mursi membuat dekrit dengan menyatakan Presiden tidak dapat diturunkan oleh pengadilan (edition.cnn.com).
Kalau mau dinilai otoriter, bisa juga dekrit ini dipandang demikian. Menurut saya, ini satu-satunya alasan yang "layak" untuk mendemo Mursi. Terlepas dari kondisi yang pelik di Mesir, memang secara teori politik kurang pas untuk membuat dekrit demikian. (pm)
*http://www.nabawia.com/read/422/ketika-media-memelintir-mursi—lagi
[source]
0 komentar dan respon:
Posting Komentar