Rokok telah merenggut separuh lebih penghasilannya sebagai tukang sampah di Cakung Jakarta Timur. Dia sering mengumpulkan puntung rokok untuk mengantisipasi jika tidak ada uang. Itulah salah satu potret dari puluhan juta Husin, perokok yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Menurut Abdillah Ahsan dari Lembaga Demografi FE UI sebanyak 2/3 masyakat miskin adalah perokok karena secara sistematis para pemasar pabrik rokok menjual produk sampai pelosok negeri. Hampir di semua warung kecil rokok mudah ditemukan. Indonesia masih menduduki peringkat ketiga untuk jumlah perokok di dunia, yakni sekitar 65 juta dan lebih 40 juta perokok dari masyarakat miskin dan sangat miskin.
Tahun lalu Departemen Kesehatan RI panik saat ‘ayat-ayat tembakau’ yang seharusnya ada dalam UU Kesehatan 2009 lenyap. Disebut “lenyap”, karena ayat itu masih termuat dalam naskah perundang-undangan yang disetujui rapat paripurna DPR, namun tidak lagi ada saat Departemen kesehatan menerima salinannya. Ada apologi ini kesalahan teknis, namun banyak pihak menengarai telah terjadi usaha kudeta redaksional terhadap produk perundang-undangan di Parlemen.
Ayat tembakau tersebut tercantum dalam pasal 113 ayat 2 Undang-Undang Kesehatan yang berbunyi “zat adiktif, sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya” Adapun ayat (1) yang dimaksud adalah (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Ayat ini jelas sekali erat kaitannya dengan industri rokok.
Lalu siapakah pemainnya? Apakah Produsen Rokok besar yang banyak dikuasai Multi-National Corporation? Atau politisi yang menerima suap sekaligus berkepentingan memperjuangkan nasib buruh rokok dan petani tembakau yang menjadi basis pendukungnya sehingga rela mempertaruhkan integritasnya? Perkaranya pun di pengadilan menjadi semakin tidak jelas arahnya karena tidak adanya kemauan politik dari para penegak hukum.
Presiden dan DPR pun telah didesak berbagai kalangan untuk segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun pemerintah belum menunjukkan kepedulian akan dampak rokok. Selama ini pemerintah dinilai lebih mengutamakan industri rokok daripada kesehatan, tidak memiliki visi dan kepedulian melindungi rakyat. Ini buktinya. Dalam roadmap industri rokok tahun 2007-2020 pemerintah menargetkan peningkatan produksi rokok dari 220 miliar batang pada 2007 menjadi 240 miliar batang pada 2010 hingga 2015, dan terus meningkat menjadi 260 miliar batang pada 2015 hingga 2020.
Roadmap tersebut tentu bukan menolong kesehatan, tetapi justru menjerumuskan rakyat ke lembah kemiskinan, kebodohan, dan kehancuran. "Indonesia menghabiskan Rp 180 triliun untuk biaya kesehatan akibat penyakit terkait tembakau atau 5,1 kali lipat pendapatan negara dari akibat cukai rokok," kata Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau FA Moeloek dalam jumpa pers di Gedung Kebangkitan Nasional Stovia, Jakarta, Minggu (11/10). Belum lagi kerugian usaha masyarakat sendiri untuk berobat penyakit akibat rokok aktif (atau pasif), kerugian belanja seluruh perokok dalam setahun dan biaya sosial lainnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
0 komentar dan respon:
Posting Komentar