Peristiwa pembantaian Karbala terhadap kafilah cucu Rasulullah SAW, Husein bin Ali ibn Thalib beserta keluarganya dan pendukung setianya, hanya menyisakan satu-satunya keturunan Nabi SAW, yaitu Ali Zainal Abidin dalam usia belia dan bibinya Zainab yang senantiasa berusaha melindunginya. Peristiwa ini adalah ujian yang sangat besar dari Allah terhadap umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW dan pengaruhnya pun terasa hingga sekarang terkait dengan sejarah mazhab Suni dan Syiah dan pasang surut hubungan diantara keduanya hingga sekarang.
“Sungguh mereka pasti akan membunuhku. Mereka tak mungkin membiarkanku. Dan aku takut bila aku terbunuh di Tanah Haram ini, hal itu akan merusak kehormatan Tanah Haram.”
Husein ra. dengan kesadaran penuh dengan sikap ridho dan ikhlas menyambut takdirnya. Maka takdir Allah pun tetap berlaku apapun jadinya. Dan peristiwa Karbala pun terjadi.
Penuturan Habib Ali Al-Jufri
Suatu malam di negeri Mesir, Habib Ali Al-Jufri menuturkan kisah Tragedi Karbala. Peristiwa yang menjadi noda hitam dalam sejarah Islam. Peristiwa yang mengakibatkan cucu Rasulullah SAW Imam Husain, dan hampir seluruh anggota keluarganya, dibunuh secara keji.
Demi Tuhan, yang mengumpulkan kita semua di malam ini, apa yang terjadi pada Imam Husain adalah konsekuensi dari cobaan dan ujian baginya.
Al-Husain pergi meninggalkan Madinah menuju Makkah. Sebelumnya ia beristikharah, meminta petunjuk Allah SWT, perihal dukungan 17.000 orang yang membai’atnya. Lalu ia memutuskan akan pergi bersama sekelompok pemuda Bani Hasyim, berikut para pengikut dan (keluarga) pendukung mereka dari kalangan wanita dan anak-anak.
Kemudian, Abdullah bin Abbas menjumpai Al-Husain, ia berkata, “Wahai anak putri Rasulullah SAW, benarkah berita yang sampai kepadaku bahwa engkau telah memutuskan akan pergi ke medan jihad itu?”
“Ya,” jawab Al-Husain.
“Bukankah mereka telah mengkhianati ayah dan saudaramu? Tidaklah aku lihat mereka kecuali pasti mengkhianatimu pula,” ujar Ibnu Abbas.
Al-Husain berkata, “Sungguh aku mengetahui bahwa mereka pasti mengkhianatiku.”
Ibnu Abbas bertanya lagi, “Lalu untuk apa engkau keluar, wahai putra Rasulullah?”
Al-Husain berkata, “Sungguh mereka pasti akan membunuhku. Mereka tak mungkin membiarkanku. Dan aku takut bila aku terbunuh di Tanah Haram ini, hal itu akan merusak kehormatan Tanah Haram….”
Akhirnya sampailah Al-Husain dan rombongan di sebuah padang yang luas. Karbala namanya. Dan, di sanalah pembataian itu terjadi.
Tragedi Karbala terjadi tak terlepas dari rakusnya penguasa zhalim pada kedudukan khalifah secara politis. Namun, apakah pencapaian posisi khalifah secara politis itu adalah segala-galanya?
Inilah antara lain pandangan Habib Umar Bin Hafidz.
Dalam kitab Al-Mustadrak ada riwayat yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi, “Setelah Al-Hasan mundur sebagai khalifah, ada orang bilang kepadanya, ‘Orang-orang mengatakan, Tuan menginginkan khilafah.’
Al-Hasan berkata, ‘Aku meninggalkan jabatan khilafah di saat orang-orang kuat berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku perangi, dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan khilafah itu) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan darah sesama muslimin….’.”
Dalam konteks ini, mundur dari khilafah saat terjadinya perpecahan adalah khilafah sejati. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh anakku (cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Dengan perantaraannya, Allah akan mendamaikan permusuhan di antara dua kubu besar kaum muslimin.” (HR Al-Bukhari).
Intinya, sikap Al-Hasan dan Al-Husain benar sesuai konteks masalah yang mereka hadapi. Dalam mensikapi takdir Allah atas umat Islam diatas (peristiwa Karbala) maka sikap yang bijak adalah berhenti saling menyalahkan golongan atau mazhab lain. Husein ra. dengan kesadaran penuh ridho dan ikhlas menyambut takdirnya. Maka takdir Allah pun tetap berlaku apapun jadinya. Maka biarlah pihak masa lalu yang membela cucu-cucu Rasulullah SAW dan yang memusuhinya adalah menjadi urusan Allah semata.
0 komentar dan respon:
Posting Komentar