Peristiwa sampang menghentakkan kesadaran kalangan muslim yang memiliki Sindrom Ukhuwwah atau memimpikan ummat Islam merapatkan barisan menghadapi tantangan dan fitnah dari musuh-musuhnya untuk memecah-belah ummat Islam. Meski ada banyak mazhab yang dianut ummat Islam baik di kalangan Sunni maupun Syiah tetapi ingatlah kita ini ummat yang satu. Sementara musuh-musuh Islam dan kaum munafik tidak henti-hentinya menghembuskan api fitnah untuk memecah belah ummat Islam dan agar saling menyerang.
Dan Alhamdulillah, meski saya berada dalam koridor kultur Islam Sunni saya merasa sangat berbahagia bahwa masih ada pandangan jernih bijak yang berasal dari ketua PWNU Jawa tengah tentang Syiah yang menegaskan kembali bahwa Syiah bagian dari ummat Islam.
"Hubungan Sunni-Syiah internasional sudah mencair. Universitas Al-Azhar, Kairo, juga sudah mengakui Syiah sebagai bagian dari Islam," kata Nanat Fatah Natsir ketua ICMI, saat dihubungi Antara dari Jakarta, Selasa, 28 Agustus 2012.
Dia menilai bahwa tidak ada lagi persoalan antara Islam Sunni dan Syiah. Karena itu, dia mempertanyakan kenapa di tingkat lokal seperti di Sampang, Madura, masih terjadi konflik antara kedua kelompok Islam itu.
"Saya melihat konflik itu terjadi karena faktor lain yang menjadi pemicu. Jadi, bukan konflik berlatar belakang agama," kata mantan rektor UIN Bandung itu.
Permulaan Kejadian Konflik Sampang
Kerusuhan dengan lantar belakang agama kembali terjadi baru-baru ini. Kerusuhan kembali mewarnai atau lebih tepatnya menodai kehidupan beragama di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 26 Agustus 2012, terjadi kerusuhan di Sampang, Madura yang mana melibatkan Muslim Syiah Sampang dengan Muslim Sunni.
Kerusuhan bermula ketika sekitar 20 anak warga Syiah beserta orangtuanya berniat untuk bersilaturahmi ke luar Kecamatan Omben dan sebagian dari mereka akan kembali ke pesantren di luar Sampang karena telah selesainya libur Idul Fitri. Di tengah-tengah perjalanan dengan bus, tiba-tiba rombongan tersebut dihadang oleh warga Sunni yang menggunakan 30 sepeda motor. Warga Syiah ini dipaksa untuk kembali ke desa mereka dan dilarang untuk belajar di luar Sampang. Paksaan ini pun menimbulkan perlawanan, tetapi warga Syiah pun akhirnya terpaksa kembali ke rumah masing-masing.
Karena ancaman kekerasan tersebut, para warga Syiah pun berkumpul di rumah Ustad Tajul Muluk, pemimpin umat Syiah Sampang, untuk berjaga-jaga dan bersiap-siap melindungi para perempuan dan anak-anak dari serangan warga Sunni. Namun warga Sunni yang mengancam ini terus bertambah menjadi ratusan orang, dikabarkan mereka pun mengancam warga Syiah ini jika berani melawan. Mereka yang berjumlah ratusan ini pun dilengkapi dengan berbagai macam senjata tajam. Setelah adu mulut antar kedua pihak, tidak lama kemudian kerusuhan pun terjadi dan semakin memanas. Pertikaian yang semakin meluas pun memakan beberapa korban dengan luka serius dan satu orang tewas. Selain itu, massa juga membakar rumah Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang, hingga habis dan kemudian disusul dengan membakar rumah-rumah warga Syiah lainnya. Jumlah rumah warga Syiah yang dibakar setidaknya mencapai 60 unit bangunan. Polisi dan aparat keamanan sendiri sepertinya tidak tangap menghadapi kerusuhan ini. Pertolongan dari polisi pun terlambat, dengan jumlah personil yang tidak memadai untuk menghentikan kerusuhan dan mencegah pembakaran rumah-rumah warga.
Tragedi Sampang: Memalukan dan Memilukan
Masih ada pandangan jernih bijak yang berasal dari ketua PWNU Jawa tengah tentang Syiah yang menegaskan kembali bahwa Syiah adalah bagian dari ummat Islam – bagian dari ukhuwwah Islamiyah. Berita saya kutip dari Artikel Republika Online. Mudah-mudahan mencairkan hubungan Syiah dan Sunni, membantah fitnah perpecahan dan memadamkan api permusuhan di antara keduanya.
Seorang warga melemparkan batu ke arah bangunan rumah, musholla dan madrasah yang dibakar massa, di Desa Blu'uran, Karangpinang, Sampang, Madura, Jatim, Kamis (29/12).
Berita Terkait
ICMI: Hubungan Syiah-Sunni Internasional Sudah Mencair
TNI-Polisi Masih Berjaga-jaga di Sampang
Said Agil: Kasus Sampang Bukan Konflik NU-Syiah
Kasus Sampang, Ulama Diminta Kembali ke Ukhuwah Islamiyah
JK: Beda Ideologi Bukan Alasan Membunuh
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah M. Adnan menilai aksi kekerasan terhadap pemeluk Syiah di Sampang, Madura merupakan tindakan yang memalukan dan memilukan.
"Hanya ada dua kata atas tragedi kekerasan atas nama agama yang masih saja terjadi dan kali ini yang menjadi korban adalah pemeluk Syiah di Sampang, Madura, yakni memalukan dan memilukan," katanya di Semarang, Selasa.
Memalukan, kata dia, sebab kasus kekerasan itu terjadi di kalangan sesama pemeluk Islam yang memiliki kitab suci Alquran yang sama, mengucapkan syahadat yang sama, dan meyakini nabi yang sama, yakni Nabi Muhammad SAW.
Aksi kekerasan terhadap pemeluk Syiah itu juga memilukan, kata dia, karena yang menjadi korban lagi-lagi mereka yang tidak berdosa, baik korban yang meninggal maupun korban yang menjadi terusir dan terusik.
Secara sederhana, ia menjelaskan paham yang dianut Syiah memang hanya mengakui satu khalifah sepeninggal Nabi Muhammad SAW, yakni Imam Ali (Ali bin Abu Thalib), sementara paham Sunni mengakui keempat sahabat Nabi.
"Sunni memberikan tempat istimewa pada keempat sahabat Nabi, baik Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib karena meyakini Nabi tidak pernah menunjuk siapa yang menjadi penggantinya," katanya.
Meski demikian, Adnan yang pernah menjadi Ketua Islamic Centre di Hiroshima, Jepang itu mengatakan bahwa dalam tata cara peribadatan pemeluk Syiah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemeluk Islam yang lainnya.
Ia mengakui, seperti halnya dalam Sunni yang sebenarnya juga memiliki banyak "sempalan" dan mazhab, paham Syiah juga seperti itu, ada paham Syiah yang ekstrem, ada yang toleran, bahkan ada yang mirip-mirip Sunni.
"Saya rasa masyarakat perlu lebih banyak belajar untuk memahami, kalau orang yang paham benar dengan Syiah tentu toleran. Meski hanya mengakui Imam Ali, mereka tidak mencaci maki ketiga sahabat lainnya," katanya.
Adnan mengemukakan, sebelum Ramadhan lalu sempat menerima kunjungan Ahlul Bait Indonesia (ABI) yang merupakan organisasi jamaah Syiah, setelah kunjungan serupa dari tokoh Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI).
"Mereka ini sangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka juga tidak berusaha memisahkan maupun memperbarui sistem politik yang berlaku di Indonesia, tidak seperti paham Syiah dahulu," katanya.
Ia mengimbau masyarakat untuk lebih banyak belajar bahwa dalam Islam sendiri memang banyak perbedaan sehingga butuh kesadaran, pengertian, dan pengalaman sosial untuk bisa memahami perbedaan dengan baik.
"Tidak cukup kalangan agama, pemerintah harus segera turun tangan untuk menyelesaikan persoalan ini, termasuk aparat. Sebab, kejadian semacam ini sudah kesekian kalinya dan jangan sampai terulang," kata Adnan.
Sumber: antara
0 komentar dan respon:
Posting Komentar