Ummat Islam memang ditakdirkan harus menghadapi cabaran pertentangan antar golongan. Nabi memberitakan ummat akan terpecah-pecah dengan kefanatikan golongan masing-masing – merasa Islam-nya paling benar dan juga akan muncul nabi-nabi palsu.
Nabi palsu dan ajaran Islam yang sesat pun muncul di kalangan Syiah (seperti Ismailiyah, Nushairiyah atau Druze) namun lebih banyak lagi muncul di kalangan Sunni. Fitnah yang termasuk paling besar di kalangan Sunni adalah munculnya kaum Wahabi/Salafi, pengikut “si Tanduk Setan dari Najed.” Penyebar kebencian dan dendam kesumat. Dakwah, khutbah dan majelis ilmunya pun jauh dari kedamaian karena mengobral cacian, pengkafiran, tuduhan sesat dengan mengklaim Islam-nya paling benar. Slogannya pemurnian Islam dan kembali ke Qur’an & Hadits yang penafsiran dan pengajaran menurut syaikh-syaikh mereka – di luar ajaran gurunya dianggap sesat, bid’ah dan kafir. Saya pun tidak sudi menyebut syaikh-syaikh mereka ini sebagai ”ulama.”
Namun sayangnya banyak kalangan Sunni memukul rata semua Syiah sesat (ada 22 golongan) sementara mereka menutup mata kesesatan Wahabi. Padahal imam-imam madzab utama di kalangan sunni (Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali) tidak pernah mengkafirkan atau fatwa sesat pada Syi’ah Imamah (Itsna Asy’ariyah – Imam 12 keturunan Ali bin Abii Thalib ra keturunan Rasulullah SAW) meski ada perbedaan sejarah mazhab dan periwayatan hadits dalam rentang 14 abad.
Mengapa kini sikap bijak bil hikmah para imam besar Sunni ini tidak menjadi pegangan penganut Sunni?
Syiah adalah bagian dari ummat Islam dan bagian dari mozaik dunia Islam. Ingat kebencian Wahabi dan penyebaran fitnah salafi telah memperbesar masalah ini.
Sunni dan Syiah Imamah
Segala puji bagi Allah. Alhamdulillaah! Astaghfirullaah!
Kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya dan kami pun meminta ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, niscaya tidak ada yang bisa memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Amma ba’du …
Siapa Sunni?
Secara umum, golongan ini adalah umat yang mengikuti aliran Hasan Asy''ari dalam urusan akidah dan keempat imam Mahzab (Malik, Syafi''i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi) dalam fiqih atau syari’at. Jadi identifikasi golongan Sunni (Ahlul Sunnah) sejarahnya muncul belakangan – pada masa hidup Abu-al Hasan Asy’ari (lahir: 873M- wafat: 935 M) atau 3 abad sesudah Rasulullah SAW wafat.
Ahlul Sunnah (Sunni) secara harfiah adalah orang-orang yang konsisten mengikuti tradisi Muhammad SAW. Baik dalam tuntunan lisan maupun amalan serta sahabat mulia beliau. Golongan ini percaya perbuatan manusia diciptakan Allah dan baik buruknya karena qadha dan qadar-Nya. Kaum Sunni memperurutkan keutamaan Khulafaa ur-Rasyidin sesuai urutan dan masa kekuasaan mereka.
Siapa Syi’ah?
Kaum Syiah atau cikal bakal pendukung Syiah munculnya tidak lama setelah Rasulullah SAW wafat di zaman Khulafaa ur Rasyidin. Merekalah pembela Ali ibn Abi Thalib dan cucu Nabi (Hasan + Husein) yang di kemudian hari diburu dan dibunuh atas suruhan Mu’awiyah. Mereka menganggap Nabi mewasiatkan kekhalifahan pada Ali. Sementara Ali mengurusi jenazah Nabi SAW, Abu Bakr di tempat lain dibaiat oleh para sahabat sebagai khalifah pengganti kepemimpinan Nabi.
Jadi akar sejarahnya adalah pembelaan kepada Ali ibn Abi Thalib (masalah politik). Dalam perkembangannya, ajaran Islam Syiah berkembang dalam rel yang berbeda dengan sejarah sunni. Termasuk sanad dan perawi hadits. Para imam Syi’ah (yang utama 12) Ayatullah sebagai pimpinan tertinggi dan keturunan Rasulullah SAW, bisa saja mengatakan :
“Perawi hadits adalah saya.”
Karena memang merekalah pemegang otoritas keagamaan dan terutama memang kapabilitas intelektual - sebagai pewaris ajaran datuknya Nabi SAW - benar-benar sangat terjaga. Kehidupan sufi (yang sangat dibenci oleh kaum wahabi) dan tradisi keilmuan benar-benar hidup dan berkembang di lingkungan Syiah. Misalnya lembaga pesantren pertamakali muncul dari kalangan Syiah. Sejarah Syiah juga mengiringi masuknya Islam di Indonesia. Ulama Syiah banyak yang ahli filsafat sehingga mendorong berkembangnya masyarakat yang memiliki ciri rasionalitas.
Mengapa Syiah dan Sunni harus bertentangan?
Membayangkan kasus Sampang – seolah saya ada disana – menjadikan hati, akal dan pikiran saya pun merasa sangat kesakitan dan seketika hati dan pikiran saya menerawang ke penindasan agama yang masih menimpa muslim Sunni Rohingya di Myanmar. Dan sekarang kaum Mustadh’afin (yang Teraniaya) ini pun sudah dekat di pelupuk mata – di Indonesia.
Saya bukan penganut Syiah. Ketika kuliah saya pernah mondok di Pesantren NU, di Payaman, Secang – Magelang. Namun perasaan walaa’ dan barra’ – Muslim itu bersaudara, jika anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh pun akan merasakan sakitnya – perasaan itu yang mengganggu hati dan pikiran saya.
Perbedaan tidak berarti perselisihan. Perbedaan dapat menjadi rahmat karena ia merupakan sumber kekayaan intelektual khazanah Islam.
Sampang, Tajul Muluk, dan NU yang Membeku
Tajul Muluk, penganut mazhab Syiah di Sampang telah dikriminalisasi karena keyakinannya adalah contoh orang kecil tertindas. Saya tidak bisa mendamaikan kemarahan dengan kesedihan saya yang mendalam atas nasibnya, tanpa menuliskannya. Bagi saya, Tajul Muluk adalah pantulan diri saya sendiri. Saya melihat diri saya pada dirinya dan nasibnya.
Simpati saya datang dari rasa kemanusiaan yang wajar, sedemikian wajarnya sehingga saya merasa perlu untuk mengurai penindasan yang dialami dengan alasan yang wajar dan mudah, mengabaikan kerumitan teknis hukum dan pasal-pasal.
Semata-mata agar orang tahu, tanpa perdebatan soal prosedur hukum dan pengadilan tiga per empat yang kerap begitu palsu, keadilan dan ketidakadilan bukanlah perkara yang rumit untuk dipahami bahkan bagi orang kebanyakan. Dan hakim atau pengadilan sering kali gagal melihat konteks-konteks sosial secara utuh sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari bangunan kesimpulan hukum.
Tajul Muluk awalnya adalah seorang santri, kemudian seorang ustad yang memimpin madrasah milik orangtuanya. Sebagaimana orangtuanya, dia menetap dan menghabiskan umurnya yang mendekati 40 tahun, sebagai warga kampung di Dusun Nangkernang, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang.
Selama itu, dia tak pernah terlibat kejahatan, perbuatan asusila, atau kebejatan moral yang meresahkan masyarakat. Bahkan sebaliknya, dia adalah seorang ustad yang pintar, peduli, dan secara tak terelakkan menjadi panutan di kampungnya.
Ditunjang dengan bahasa Arab yang cukup baik, bekal ilmu agama yang luas, dan kepribadian yang lembut terutama terhadap warga miskin di sekitarnya, keberadaan Tajul adalah ‘perbedaan mencolok’ bagi praktik keberagamaan yang semakin simbolis dan cenderung membeku di Sampang.
Dengan sadar saya menulis bahwa telah begitu lama tumbuh sejumlah kiai gadungan yang mengaku NU atau lebih tepatnya pedagang agama dengan simbol-simbol NU yang telah menjadikan agama dan tradisi NU yang mulia itu sebagai barang dagangan di Sampang.
Sebagian para pengaku kiai NU di Sampang itu mencekik umat bahkan yang miskin dengan tarif saat perayaan mauludan Kanjeng Nabi dan ritual-ritual tradisi NU lainnya yang sangat dihormati di Sampang.
Sehabis ritual-ritual itu, sudah umum diketahui begitu banyak warga di Sampang sering harus berutang karena tradisi menanggap kiai berceramah dari pintu ke pintu. Status dan kadar ke-NU-an perlahan-lahan dibangun di atas hubungan-hubungan selebritas agama yang menyusahkan daripada membebaskan.
Kiai-kiai NU ini tentu saja tak benar-benar layak disebut kiai kecuali karena simbol-simbol di tubuhnya. Mereka mempromosikan Islam NU yang materialistis dengan menjual tarif dan tak lagi mau berkunjung ceramah ke tempat orang-orang miskin yang jamak ada di sana. Anda tak perlu mengerahkan daya selidik yang serius untuk mengetahui realitas seperti itu.
Kiai atau tokoh agama itu kini juga lebih banyak menjual proposal agama dengan Pemda ketimbang memperjuangkan masalah sosial dan kepentingan umat yang cukup mengkhawatirkan di sana.
Jika saja pikiran orang di Sampang dibiarkan bebas tanpa membutakan diri dengan simbol dan dogma, keprihatinan-keprihatinan mendalam terhadap kebekuan beragama itu sebenarnya tidak asing di benak warga Sampang. Mereka merasakan belenggu-belenggu itu lebih banyak dari mengatakannya.
“Tetapi kok Kiai itu (Tajul) berbeda?” pikirnya, “Kalau begitu, mending saya jadi Syiah saja atau Muhammadiyah. Tak perlu harus berutang!”
Perlahan-lahan, sepak terjang keberagamaan Tajul Muluk, anak seorang kiai terpandang di Sampang, yang ramah terhadap orang miskin dan lebih mempesona dalam berdakwah, secara serius mengusik kemapanan kiai-kiai pecinta materi yang ada di Sampang, khususnya di Kecamatan Omben. Tajul Muluk adalah anti-tesa, sebuah Islam protes kepada kebekuan beragama yang menguat di sana.
Perang pengaruh yang mulanya bersifat personal telah beralih secara cepat menjadi sentimen identitas mazhab bahwa kami NU sementara Tajul Muluk itu Syiah dan (karenanya) sesat. Tentu saja sentimen primordial yang meruncing itu adalah dalih untuk membungkus alasan sesuangguhnya yang jauh lebih primordial dan memalukan: kecemburuan, ketakutan akan hilangnya pamor dan panggung dakwah para kiai. Hal-hal yang cepat atau lambat, dengan atau tanpa Tajul Muluk, sebenarnya pasti akan terjadi di Sampang.
Tajul Muluk kemudian diolah dalam desas-desus dan fitnah klise yang standar dan mengada-ada tentang Syiah sehingga kemudian Tajul tersihir sebagai musuh masyarakat. Para kiai yang kemapanannya terusik itu mendapatkan angin pembenaran lebih dahsyat lagi oleh kelompok wahabi/takfiri bernama al-Bayyinat, yang juga mendaku diri sebagai kader NU yang anehnya terang-terangan memiliki agenda organisasi dan tercermin dalam ceramah kebencian mereka yang sistematis untuk menyesatkan dan memerang Syiah, khususnya di Jawa Timur.
Persekutuan jahat itu pun makin menjadi-jadi dengan melibatkan politik daerah di Sampang yang dimainkan oleh Bupati Sampang Noer Tjahja. Bupati ini melihat peluang menjadikan kasus Tajul Muluk sebagai kasus populis yang bisa digunakannya mendulang simpati massa fanatik NU untuk memilihnya sebagai bupati untuk kali kedua. Semenjak itu, bupati ini secara aktif mengeraskan dan memobilisasi pidato kebencian terhadap Tajul Muluk dan paham Syiah.
Tajul Muluk akhirnya terusir dari rumah, kampung halamannya dan dari pengikut dan santrinya yang berjumlah lebih dari 350 orang. Tapi itu rupanya tidak cukup. Jauh di pengungsian, Tajul mendengar, rumah dirinya, madrasah, mushalla, koperasi, rumah ibunya, dll telah dibakar massa.
Kebakaran itu berbuntut pengungsian ratusan warga pengikut Syiah dan kemudian penderitaan yang tidak berkesudahan hingga sekarang, misalnya: penjarahan harta benda, pemecatan para buruh tani karena tidak mau keluar dari Syiah, dan lainnya.
Alih-alih aktor penyuruh dan pelaku pembakaran ditangkap, dan hukum ditegakkan, yang terjadi Tajul Muluk yang sebenarnya adalah korban justru dikriminalisasi dan dihukum karena dianggap melakukan penodaan agama. Tak ada rehabilitasi rumah korban, pergantian hak warga yang dirampas atau bahkan sekadar kata maaf.
Warga Syiah dan Tajul Muluk dipersekusi haknya secara perlahan dan menyakitkan. Dalam penderitaan dan kemiskinan, anak istri Tajul Muluk, dan pengikutnya, menjalani penindasan di depan negara yang hanya bersedia menjadi penonton.
Tanpa basa-basi saya ingin mengatakan, NU yang toleran, yang katanya memiliki prinsip kemanusiaan dan keindonesiaan yang solid terbukti hanya ilusi di Sampang.
NU boleh bersilat lidah, bahwa ada oknum, tapi tampaknya apa yang disebut oknum-oknum itu telah cukup menguasai kancah politik organisasi NU di Jawa Timur, dan mungkin di daerah lain dalam waktu cepat, begitu cepatnya sehingga tak bisa dibayangkan oleh tokoh-tokoh ideologis NU sendiri.
Pada saat itu, mungkin NU bahkan akan pula segera disesatkan dan dikafirkan oleh rayap takfiri yang menempel di rumahnya sendiri yaitu si bunglon Wahabi.
Source:
Hertasning Ichlas; beritasatu.com; Kamis, 16 Agustus 2012
Saya tutup dengan pandangan Habib Rizieq mengenai Syiah dari release resmi FPI :
"KONFLIK BERDARAH Sunni - Syiah tidak boleh terjadi. Sunni harus bisa menahan diri dan Syiah harus tahu diri. Artinya, Sunni tidak boleh tunjuk hidung dengan mengkafirkan Syiah, apalagi menggeneralisir bahwa semua Syiah kafir, tapi Sunni tetap wajib mengkafirkan aneka pemikiran yang nyata-nyata kafir dari siapa pun datangnya.”
Untuk menghibur hati yang galau dengan maraknya kyai, ustadz dan guru ngaji yang menjual Islam dan untuk mengingati kerinduan kami pada ustadz saya dulu yang mukhlis, saya kutipkan syair ini :
Dimana Ustadz kami
Dimana ustadz kami yang selalu tersenyum dengan sorban hijau dan janggut di wajahnya?
Dimana ustadz yang dulu mengajarkan alif ba ta tsa ... hingga yak di surau kami?
Dimana ustadz yang dulu memberi tausiah iman dan Islam di langgar kampung?
Dimana ustadz yang mengajarkan etika, kesopanan akhlaqul karimah kepada kami?
Ustadz itu sudah tidak ada, saudaraku … Saya tidak sudah tidak lagi menemukan.
Yang ada ustadz-ustadz yang menunggangi ummat untuk kepentingan pribadi.
Tidak ada lagi uluran tangan untuk kami cium sebagai hormat kami
Tidak ada lagi yang men-tartil tilawah kami
Tidak ada lagi yang menasihatkan kami untuk tegar dalam Iman dan Islam
Tidak ada lagi penjaga akhlaq kami
Yang ada adalah para ustadz dan santri yang siap menghajar kami
membubarkan tempat pengajian kami
menghancurkan rumah dan sekretariat tempat kami berkumpul dan tilawah qur'an
jumlahnya ratusan bahkan ribuan
datang dari jauh
bukan untuk mentausiahkan kami
mengajak kami mengaji
tapi menghancurkan kami
karena kami menjaga eksistensi agama Islam ini, yang dulu telah diajarkan mereka kepada kami.
Dimana ulama itu ? Dimana MUI itu ? Dimana Ummat Islam ???
Ketika penjara penuh dengan orang pengajian dan ustadz yang komitmen Islam
Selamat datang kemaksiatan
Selamat datang penyimpangan
Selamat datang kebebasan
0 komentar dan respon:
Posting Komentar