Habib (jamak:habaib) berasal dari kata hubb. Dalam ilmu shorof (perubahan kata dan fungsinya) termasuk wazan (pola) af’alla – yuf’illu. Kata “hubb” berasal dari:
ahabbah – yuhibbu – hubban.
(Past tenses) (present/future tenses) (gerunds)
Gerunds – kata-benda yang berasal dari kata-kerja dan berupa –ing forms, misalnya swimming/eating. menurut Kamus Arab Inggris Indonesia, Elias A. Elias & Edward E. Elias, Ali Al-Mascatie, (Al-Maarif, Bandung, 1983) berarti cinta atau mencintai.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka (2005), habib (“yang dicintai”) bisa digunakan sebagai panggilan yang berarti tuan, atau panggilan lain untuk gelar sayid. Kata “sayid” berasal dari:
saadah – yasiidu – siyadah/sayid (pimpinan yang melayani (ummat)).
Dalam KBBI, sayid berarti tuan atau sebutan untuk Keturunan Muhammad SAW. KBBI juga memperjelas dengan kata sayidani yang berarti tuan yang dua (sebutan untuk kedua cucu Nabi Muhammad, Hassan dan Hussein).
Selain 2 kata tersebut (habib dan sayid) ada kata yang tepat, syarif (syarifah untuk perempuan), dalam KBBI berarti orang yang mulia, atau sebutan bagi keturunan Rasulullah SAW melalui Hussein.
Panggilan Habib yang dilekatkan pada nama seseorang, tidak lepas dari kecintaan ummat terhadap seorang guru yang mengajarkan kebaikan dan akhlak, seperti juga gelar Kiai pada guru pesantren di jawa atau gelar Ajengan di pesantren Jawa Barat.
Gelar Habib, sesungguhnya gelar yang mulia yang dilekatkan kepada keturunan Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Semuanya tidak lepas dari sejarah Islam. Setelah Hussein dibunuh secara kejam di Karbala, Irak, anaknya Ali Zainal Abidin, karena tekanan penguasa (khalifah), hanya bisa menjadi ahli ibadah (makanya dibelakang namanya ada gelar Abidin).
Semua khalifah ini walaupun sudah berganti dinasti selalu memusuhi keturunan Hussein, karena alasan takut pengaruh keilmuan dan ketinggian asal keturunannya. Keturunan Hussein ke-8, Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bi Husein pindah dari Basrah ke Hadramaut (Yaman). Ahmad bin Isa wafat di Hasisah (345 H) dan cucunya, yaitu Alwi bin Ubaidillah (keturunan ke-10) kemudian di-nisbath-kan pada nama kaumnya, kaum Alawiyyin di Hadramaut.
Penetapan nama Alawiyyin, menurut Tharick Chehab (1975) yang ditulis ulang oleh Kurtubi (2007) dalam buku “Sejarah Singkat Habaib (Alawiyin) di Indonesia”, karena di Hadramaut berlaku undang-undang kesukuan, tiap keluarga harus punya nama suku. Beberapa suku terbesar di Yaman (disebut Qabili), antara lain ; Al-Katiri, At-Tamimi dan lainnya. Para Qabili ini tidak suka dan sangat membenci pendatang dari Irak keturunan Ali bin Abi-Talib dan mereka pun terdesak di wilayah tandus.
Kebencian Qabili yang ada begitu kuat, maka generasi ke-6 Alwi bin Ubaidillah (atau generasi ke-16 Husein cucu Nabi), Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam, meninggalkan mazhab Ahlul bait yang dianutnya, dan secara kompromis menerima dan memilih mazhab Syafi’i (Muhammad bin Idris as-Syafi’i Al-Quraisyi).
Setelah Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam wafat di Tarim (653H) keturunannya pun menyebar ke : Afrika Timur, India, Malaysia, Thailand, Filipina, Tiongkok (Cina), termasuk Indonesia. Yaitu setelah lebih dari 300 tahun tinggal di Hadramaut.
Di Indonesia, keturunan Hussein, cucu Rasulullah, masih membawa nama keluarga, karena pengaruh kehidupan di Hadramaut yang sukuisme. Sehingga kaum alawiyyin memakai nama keluarga seperti ; Al-Attas (berarti bersin/bangkis) , Assegaf (Al-saqaf- atap/langit-langit), Al-Haddad (hadid-besi/pandai besi), , Al-Habsyi (nama tempat di Afrika, habsyah), Al-Jufri, Al-Idrus dan lainnya. Secara umum mereka disebut sebagai AHLUL BAYT.
0 komentar dan respon:
Posting Komentar