Mau dibawa kemana dunia pendidikan kita? Dunia pendidikan di Indonesia memiliki titik kelemahan paling mendasar, yaitu Missing-Link. Produk pendidikan sama sekali kehilangan LINK dengan dunia luar (di laur akademis) dan tidak aneh kita temukan prestasi terbesar seorang fresh-graduate (sarjana baru - S1) adalah hanya selembar lamaran kerja dan penolakan dari perusahaan.
Sama sekali tidak aneh! Sistem pendidikan penjajah Belanda – yang misi & visinya untuk memenuhi tenaga clerk (ambtenaar) pamongprojo atau ‘pegawai negeri’ pemerintahan Hindia-Belanda – hingga sekarang masih diwariskan pada Blue-print kurikulum pendidikan. Output pendidikan adalah mental pegawai atau ‘kacung’ dimana output terbaik dengan Indeks Prestasi terbaik akan menjadi ‘kacung’ yang baik dan patuh. Dalam kadar berbeda mental ini masih berlaku hingga sekarang.
Kelemahan ini mudah sekali kita lihat, seperti dibawah ini :
- A. Pendidikan Indonesia identik hafalan berbasis "kunci jawaban" bukan
pengertian. - Ujian Nasional, tes masuk PT, kursus-kursus, lembaga bimbingan belajar dan lembaga pendidikan lainnya semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus tersebut.
-
Efeknya bisa dikaji, dengan biaya ekstra seorang siswa lulus tes masuk perguruan tinggi mengandalkan rumus-rumus ‘jalan-pintas’ dari tempat Bimbingan Belajar, mengalami kesulitan di tahun kedua dan seterusnya karena tidak paham pengertian rumus-rumus tersebut.
- B. Kurikulum pendidikan terlalu teoritis, sangat tidak aplikatif dan sangat
tidak sesuai realita di lapangan. Literaturnya pun sering tidak up-to-date. - Anggaran pendidikan yang terilyun2 hanya difokuskan demi pencapaian
hasil UN tertinggi. -
(keberhasilan pendidikan hanya diukur dari besarnya % kelulusan. Jika 100% pendidikan dianggap berhasil).
-
Semua itu hanya untuk meningkatkan gengsi pejabat daerah atau pengelola pendidikan semata. Tidak untuk kepentingan anak didik.
- C. Pendidikan Moral, Agama, karakter, Budi pekerti semua hanya berupa
Materi Hafalan (Kognitif), sangat kurang dengan aspek penerapan.
Karena berbasis hafalan, murid di Indonesia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Itulah mengapa anak kita sarat dengan beban kurikulum.
Mereka dididik menjadi :
Jack of all trades, but master of none
(tahu sedikit2 tentang banyak hal tetapi tidak menguasai apapun).
Semua bisa dirangkum dengan sebuah komentar :
“semenjak aku keluar kuliah aku juga berfikir.
kuliah sampah, paling cuma 1% ilmu yang masuk 99% sampah.”
Wakil Ketua DPR RI, Anis Matta, melayangkan kritik pedas terhadap kurikulum yang di terapkan dalam dunia pendidikan. Pasalnya, kurikulum yang saat ini dijalankan, dikhawatirkan alokasi dana dari APBN dana 20 persen atau sebesar Rp200 triliun untuk bidang pendidikan akan sia-sia saja di gelontorkan. Karena tidak akan menghasilkan mutu pendidikan yang memadai.
"Karena tidak diajari tentang pendidikan finansial dan entrepreneurship maka ketika kita menjadi sarjana, satu-satunya prestasi yang bisa dilakukan adalah membuat surat lamaran kerja. Tidak pernah kita mendengar seorang mahasiswa kita lulus kuliah lalu membuka lowongan kerja," jelas Wakil Ketua DPR RI, Anis Matta, di hadapan para tokoh dalam acara safari Ramadan, di Solo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu, Minggu (29/7/2012)seperti dirilis Okezone.
Menurutnya, kurikulum yang saat ini diterapkan dinilainya hanya mendidik murid menjadi tidak mandiri dan tidak mampu mengelola kemampuan pribadinya.
Seharusnya sejak tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi, harus ada mata pelajaran maupun mata kuliah pendidikan finansial dan entrepreneurship.
Anis mengambil contoh entrepreneurship yang di tunjukan Nabi Muhammad SAW. Yang mana sejak kecil Nabi Muhammad mengembangkan kemampuannya dengan membuka jasa pengelolaan ternak. Dari jasa pengelolaan ternak tersebut Nabi Muhammad SAW mampu membelikan mahar berupa 100 ekor unta.
"Bila satu ekor unta seharga Rp10 juta maka saat berumur 25 tahun, beliau saat itu berarti telah mempunyai harta Rp1 miliar untuk membeli unta. Ini contoh dalam mendidik anak-anak kita kedepan," paparnya.
0 komentar dan respon:
Posting Komentar