Kaum Alawiyyin yang menjadi himpunan besar para habib, syarif atau sayyid keturunan Rasulullah menjadikan kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur sebagai tujuan “Mahjaru Tsani” tempat hijrah yang kedua (yang pertama terjadi 3 abad sebelumnya 345H dari Bashrah ke Hadramaut).
Masuknya Alawiyin di Indonesia lewat perdagangan, pengajaran agama, perkawinan dan akhlak. Kaum Alawiyyin masuk melalui beberapa jalur:
(1) Dari Hadramaut langsung.
(2) Hadramaut ---> India ---> Indonesia.
(3) Hadramaut –> Yunnan (Champa/kamboja + China selatan) ---> Jawa
(seperti model dakwah Walisongo, 9 sunan mayoritas dari negeri China).
Karena akhlak mereka yang baik, banyak kalangan masyarakat Indonesia menerima agama yang dianut para keturunan Hussein itu. Sehingga mereka mau memeluk agama baru. Bahkan Islam kemudian menjadi agama resmi beberapa kerajaan, menggusur agama “impor” lain dan agama lokal.
Namun pada masa kolonialisme Barat di Asia Tenggara terjadi kemunduran dakwah. Di Indonesia. Kiprah dakwah Islam kaum Alawiyin yang sangat dicintai masyarakat menjadi batu sandungan bagi Belanda. Pemerintah kolonial pun melarang Alawiyyin menetap di pedalaman pulau Jawa, berkeluarga dengan anggota istana (beberapa Alawiyin kawin mawin dengan keluarga kerajaan tempat mereka menetap).
Sebagian kaum Alawiyyin pun migrasi ke perkampungan tertentu di bandar-bandar di tepi laut, atau mengganti nama mengambil nama keluarga Jawa agar dianggapnya orang Jawa asli, pribumi. Karena pindahnya Alawiyyin dari pedalaman ke wilayah pesisir utara, pusat ke-Islam-an pun beralih di sepanjang pantai utara Jawa, seperti ; Semarang, Surabaya, Jakarta, dan lain tempatnya. Yang tidak pindah dari pedalaman menetap di perkampungan-perkampungan yang disebut kauman.
Di beberapa daerah di Indonesia, keturunan Hussein memakai sebutan sayyid, syarif, ayib atau sidi di depan nama mereka. Selain di Indonesia, keturunan Hussein memakai Sayyid (Sayed/Syed) di depan namanya, misalnya bekas menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar atau pimpinan tertinggi Iran Sayyid Ali Khamenei.
Namun tidak semua keturunan Nabi Muhammad lewat cucunya Hussein mendapat gelar Habib. Karena orang yang mendapat gelar Habib itu, memiliki tingkat ketakwaan, kezuhudan, keilmuan dan akhlak yang mulia lebih dari orang yang lain. Boleh jadi setingkat di bawah wali. Tidak jarang, misalnya, orang datang kepada Habib minta didoakan (pesan doa melalui Shalawat Nabi), air atau keberkahan lain.
Banyak ulama terkenal Indonesia adalah keturunan Alawiyyin, yang karena ilmu dan akhlaknya dipanggil Habib, misalnya, Habib Sholeh bin Yahya dari Tanggul, Jember, Jawa Timur, Habib Abdurahman Alaydrus- luar batang, Jakarta Utara atau Ali Alhabsyi, Kwitang, Jakarta Pusat.
Sayangnya kini mulai muncul kasus habib-habib palsu, nama habib, sudah dipakai sembarang orang yang tidak pantas menggunakannya. Ada habib Hani Assegaf yang memimpin sebuah organisasi kriminal dan berlabel agama, ada juga menggunakan gelar Habib tapi melakukan perbuatan nista.
Dan ini lagi ada pakai gelar Habib di depan namanya tetapi sesungguhnya, dia bukan keturunan Hussein. Seperti Abdullah Haris Umarella, yang terkenal dengan nama Abdurahman Assegaf yang punya pesantren besar di Parung Bogor yang bekerjasama dengan DAI TV atau lembaga amaliyah Budha, Ketua FPI Depok memakai nama Al-Ghadri atau Habib Paulus Muhammad Ali Makhrus At-Tamimi, pendeta yang mengaku bekas aktifis Front Pembela Islam (FPI) di Jawa Timur. Entah karena ingin mendapat keuntungan dari “kepatuhan” masyarakat Indonesia atau karena kurang percaya diri?
Selain Habib, makna lain yang mulia adalah Kiai. Namun penurunan makna juga terjadi pada kata Kiai. Dalam KBBI berarti alim ulama yang cerdik cendikia dalam ilmu agama ; sebutan bagi pempimpin pondok pesantren ; sebutan bagi orang-orang yang dihormati (di masyarakat Madura). Gelar kehormatan itu diberikan pada ulama pimpinan pesantren yang memiliki ribuan santri.
Namun kini sebutan kiai bisa hanya dilekatkan pada pendakwah (dai), atau pimpinan sebuah organisasi yang mengusung gaya premanisme. Gelar kiai juga dipakai untuk kelompok musik; Kiai Kanjeng atau Kiai Ganjur. Bahkan kerbau yang dikramatkan, dipanggil kiai Slamet, kotorannya, diperebutkan sebagai mendapat berkah.
Penyalahgunaan kedua kata yang menunjukkan tempat terhormat tersebut, berakibat penurunan makna kata. Tentu saja tak mengurangi orang-orang yang memang pantas menerima gelar tersebut. Kami tetap hormat pada para habaib dan kiai yang tetap menjaga gelar kehormatan di depan namanya.
Source:
Tulisan Sayyid Abdul Kadir bin Yahya, Ketua Majelis Taklim Asmaul Husna,Desa Tegal Wangi, Kecamatan Palang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan Ahmad Taufik beserta sedikit editing.
0 komentar dan respon:
Posting Komentar